-->

Breaking

logo

Minggu, 10 Juni 2018

Tentang Makna Lebaran

Tentang Makna Lebaran


Cerita Kita - Menjelang Lebaran kesibukan Umat Muslim diseluruh penjuru nusantara nampak makin meningkat. Pasalnya, lebaran yang tinggal menghitung hari ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya akan dipersiapkan secara maksimal mulai dari sajian makanan hingga pakaian yang kelak digunakan.

Ada nasihat bijak begini,” lebaran tahun ini harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya”. Pernahkah anda mendengarnya? 

Ada juga yang meyakini bahwa lebaran itu harus serba baru dan tidak boleh menggunakan barang-barang yang sudah dipakai tahun sebelumnya? Itu artinya, “ganti yang lama dengan yang baru, mulai dari baju baru, kemeja baru, jilbab baru, kaftan baru dan lain sebagainya”.  

Benarkah penafsirannya demikian? Jawabannya jelas tidak. Sebab, lebaran itu bukan soal baru atau lamanya barang yang anda gunakan.

Untuk apa menggunakan barang yang serba baru jika bulan Ramadhan ini, puasanya masih banyak yang jebol. Untuk apa juga memiliki barang-barang wah dan serba mahal, untuk sedekah seratus ribu saja masih riya.

Karena sejatinya lebaran bukanlah untuk hal yang dangkal seperti itu. Lebaran adalah sebuah perayaan kemenangan melawan nafsu selama sebulan. 

Itu artinya, menahan nafsu untuk tidak bertindak konsumtif, bersikap riya dan tidak jujur dalam beribadah adalah lebih penting daripada lainnya.

Sederhananya lebaran bukanlah bajunya yang baru. Sepatunya yang baru. Atau kemejanya yang baru. 

Jika diberikan rejeki untuk mendapatkan itu semua, Alhamdulillah. Sebagai umat yang beriman kita harus harus rajin dan pandai bersyukur atas rejeki bisa membeli baju baru dan sajian makanan.

Tetapi diatas itu semua, ada yang lebih hebat ketimbang baju dan materi lain yang serba baru. 

Secara substantif, lebaran ialah bentuk pembaruan jiwa yang selama bulan ramdhan ini telah lolos ujian dan berhasil menumbangkan nafsu dalam diri manusia. 

Selain itu, lebaran adalah manifestasi kebaikan bagi umat lainnya dalam bentuk berbagi kepada mereka yang kesulitan. 

Melalui infaq dan sodaqoh menjelang Iedul Fitri, umat Islam diwajibkan membagikan harta yang dimiliki bagi saudara-saudara kita yang kurang beruntung. 

Dengan demikian, lebaran memiliki definisi yang lebih luas serta bermakna. Tidak saja untuk individu, kelompok dan keluarga, tetapi bagi seluas-luasnya umat manusia. 

Pertanyaannya, apakah semua umat muslim menghayati lebaran dengan seperti itu? jawabannya tentu saja tidak. 

Idealnya memang umat muslim diharapkan berprilaku demikian. Namun pada faktanya disayangkan bertolak belakang. Apakah sebabnya?

Sebagaimana diketahui, selama ini doktrin keberagamaan Umat Islam yang diwariskan turun temurun, khususnya umat Islam di Indonesia hanyalah terpaku pada bentuk luarnya saja.

Umat muslim Indonesia secara faktual telah terjebak pada bentuk lahiriah semata. Sedangkan kandungan/isi ajaran Islam terpinggirkan hampir disegala bidang. 

Keberisalaman kita makin hari makin menjadi buih dilautan sebagaimana Azyumardi Azra, seorang cendekiawan muslim mengatakan.

Bahkan secara kuantitas umat Islam yang banyak jumlahnya bahkan mayoritas di negeri ini, hanya seperempatnya saja menjalankan Islam secara benar-benar murni alias berkualitas baik secara ibadah serta muamalahnya.

Lalu, pertanyannya apakah relevansinya dengan lebaran yang sudah turun temurun dirayakan?

Jawabnya mudah. Karena kemurniaan Islam sudah jauh tercemar serta terkontaminasi dengan tradisi dan ajaran-ajaran Islam yang berkiblat pada formalitas semata.

Sebagai contoh fenomena beribadah formalistik misalnya. 

Bagaimana di minggu-minggu terakhir Ramadhan masjid mulai sepi dari para jamaah sholat Isya dan taraweh. Berbeda misalnya dengan minggu pertama Ramadhan, masjid penuh hingga keluar-luar.
Jika masjid sepi, sebaliknya Mall/ pusat perbelanjaan makin ramai. 

Mereka kini berlomba-lomba menyiapkan segala sesuatu yang sifatnya kebendaan: baju baru, celana, kemeja, mukena, baju koko, bahan makanan, kosmetik, jam dan lain sebagainya.

Adapula yang sibuk menyiapkan mudik bersama keluarga sehingga lupa kewajibannya untuk berpuasa dan taraweh. Kesemua contoh diatas hanyalah sebagian kecil daripada penerapan Islam yang serba formalistik.
Karena ciri penganut Islam yang serba formalistik ialah lebih mengutamakan tampilan luar daripada hakikat Islam dari dalam diri (Islam substansi) sebagaimana diterangkan diatas.

Atau dalam kata lain, lebih mengutamakan baju baru saat lebaran karena ingin “pamer” pada tetangga, bermewah-mewahan dalam hal sajian makanan demi sekedar menjaga gengsi di depan tamu-tamu, serta aneka prilaku formalistik lainnya.

Apakah berislam dengan cara seperti itu salah? Terlalu naïf rasanya bila mengatakan bahwa Islammu, salah dan Islamku yang benar. 

Karena salah dan benarnya sebuah hal yang bersifat ketuhanan sudah seharusnya dikembalikan pada Allah SWT untuk diberikan penilaiaan.

Itu artinya sebagai umat manusia khususnya Umat Islam Indonesia, tugas kaum muslim hanyalah berbuat baik dan menjaga sifat humanis dalam bersosialisasi kepada sesama, baik kepada umat yang seiman dan non muslim 

Kembali pada bahasan lebaran diatas, makna Iedul Fitri yang sebenarnya adalah kembali sucinya manusia dari dosa-dosa dan kekhilafan selama 11 bulan kebelakang. 

Sebab lebaran sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Al-Quran ialah puncak kemenangan bagi umat Islam dari perang melawan hawa nafsu. 

Bahkan, tidak cukup sampai disitu. Di hari yang suci ini segala dosa diampuni oleh Allah SWT bagi hambaNya yang benar-benar beriman.

Pesannya, jadikan lebaran 2018 ini momentum perlawanan terhadap nafsu syetan yang ingin berkuasa lagi selama 11 bulan kedepan.

Salah satu caranya jangan sampai terjebak dengan nikmat berbelanja sehingga lupa bahwa setan itu bisa berubah bentuk menjadi apa saja!

Maka, agar tidak dianggap berteman dengan setan, kurangilah belanja di Iedul Fitri ini gantilah dengan perbanyak sedekah dan beramal jariyah. Semoga saja! (Kumparan)