-->

Breaking

logo

Jumat, 25 Maret 2022

Ruwahan dalam Tradisi Muslim Jawa

Ruwahan dalam Tradisi Muslim Jawa



Cerita Kita - Bulan Sakban yang dalam istilah orang Jawa dikenal dengan sebutan bulan Ruwah, merupakan bulan persiapan memasuki bulan puasa Ramadhan.

Kata ruwah itu sendiri adalah bentuk metatesis yakni suatu proses pergantian letak fonem dalam sebuah kata dari  bahasa Arab: arwah (jamak) dan  ruh (bentuk tunggal).

Apa yang kita saksikan dalam bulan Ruwah itu? Banyak migran pulang kampung untuk ziarah leluhur.

Banyak  orang di berbagai daerah pergi ke makam, baik makam keluarga, pepunden desa, sampai kepada rombongan wisata religi ke makam para wali.

Aktivitas seperti itu dikenal dengan banyak istilah. Nyadran atau Ruwahan.

Wujud dari tindakan ruwahan itu sendiri dikenal dengan istilah beragam namun saling bertautan: bebesik, nyekar, punggahan, sampai tahlilan dalam satu kesatuan tindakan. Mengapa?

Bebesik (Jawa: sinonim dengan reresik; resik-resik) berwujud tindakan membersihkan rumput ilalang di seputar makam  merupakan tindakan awal.

Setelah lingkungan makam bersih dari segala rerumputan dan ilalang, dilanjutkan dengan menaburkan bunga yang mereka beli di pasar atau di pinggir jalan.

Menabur bunga di atas makam disebut nyekar. Istilah nyekar itu sendiri berasal dari kata dasar: sekar artinya bunga.

Makam pepunden sudah bersih dan di atasnya sudah dipenuhi taburan bunga, lantas keluarga duduk melingkari makam leluhur untuk berdoa.

Di kalangan “kaum nasionalis” biasanya bapak Modin (salah satu perangkat desa, urusan agama) yang dimintai dan yang dipercayai memimpin doa.

Sedang di kalangan kaum santri, bisa kiai atau anggota keluarga tertua yang fasih memimpin bacaan tahlil dan surah yasin.

Serangkaian aktivitas demikian, selain dikenal secara umum sebagai wujud nyadran atau ruwahan, juga punggahan.

Pilihan kepada istilah punggahan (dari kata: munggah (jawa) yang artinya “naik”, menarik untuk ditelusuri kognisi alias pengetahuan budaya (local wisdom)-nya. 

Apa itu? Dalam kepercayaan masyarakat, bulan Ramadhan sendiri memiliki dua rujukan makna dan pesan. 

Bagi muslim yang baligh, berarti berkewajiban untuk menjalan ibadah wajib berpuasa. Sedang bagi yang sudah meninggal dunia (sumare), bulan Ramadlan adalah bulan di mana ahli kubur dibebaskan dari siksa dan dinaikkan ke swarga.

Naik ke swarga mengindikasi adanya perjalanan dari alam barzah menuju ke alam syurgawi. Pada setiap perjalanan, memberi dua peluang, gagal karena terhalang, atau sukses sampai ke tujuan.

Nah dari sini kita temukan benang merah makna di balik tindakan: bebesik, nyekar, tahilan, dan punggahan.

Makna pertama, Ramadhan sebagai bulan suci bermakna bulan penuh ampunan dan pelipatan pahala bagi yang mengerjakan ibadah dan amaliah.  Kedua, para arwah di-unggah-kan ke swarga.

Karena itu, anak-cucu meng-ikhtiari agar dalam perjalanan mereka tidak terhalang. Melakukan bebesik yakni menyiangi rumput-rumput ilalang (secara metaforik  sinonim dengan “halangan; terhalang”), bermakna melapangkan jalan.

Dalam bahasa santri,  hal demikian dikenal dengan ungkapan: “man yassara, yassarallah; wa man kassara, kassarallah”.

Sebelum berangkat menuju alam syurgawi, tabur bunga di atas makam leluhur, sebagai wujud takdzim dan takrim, agar nantinya oleh para malaikat penjaga syurga menerimanya sebagai tamu-tamu Allah yang dimuliakan.
 
Menggelar karpet merah (Red carpet treatment) menuju ke pintu syurga. Prosesi seperti inilah yang karenanya disebut punggahan.

Efek emotif apa yang kemudian diperoleh bagi anak-cucu atas tindakan menghormat orangtua dan leluhur yang telah tiada seperti itu? Jawabannya adalah RESTU. 
 
Restu agar secara khusus dapat menjalankan ibadah puasa Ramadlan dengan lancar, dan secara umum dapat menjalankan titah kehidupan dengan tenang. Semua itu berkat paham ‘ridhollah hu fi ridhol walidain, wa sukhtullahu fi sukhtil walidain.

Pada tataran yang lebih luas, nyadran atau ruwahan ditarik masuk sebagai ritual komunal, yakni kebutuhan warga secara bersama-sama. Di banyak desa di Jawa, secara bersama-sama berziarah ke makam pepundennya.

Tokoh atau leluhur yang dipundi-pundi karena jasa baiknya. Mereka datang ke makam pepunden untuk berdoa dan saling mendoakan.

Setelah doa selesai dipanjatkan, lantas para warga masyarakat yang masing-masing membawa serta makanan beragam rupa, dinikmati bersama. Suatu bentuk ikonik dari paduan perasaan empati bersama.  Memberi dan berbagi.

Inilah representasi dari bagaimana ajaran agama diwujudkan dalam kehidupan yang berkeadaban. Lewat ritual Ruwahan inilah agama dimanifestasikan sebagai ajaran yang menyatukan, bukan memisahkan.

Agama menuntun umat manusia untuk saling mencintai, bukan membenci, sebagaimana pesan Sang Rasul sendiri: “cintailah saudaraamu sebagaimana engkau mencintai dirimu”.

Prof Dr Mudjahirin Thohir MA (Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro Semarang, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan MUI Jateng)