-->

Breaking

logo

Sabtu, 28 April 2018

Memahami Islam yang Anggun Melalui Seni

Memahami Islam yang Anggun Melalui Seni

Karya Tita Rubi, 2004
Cerita Kita - JAWABAN atas judul esai tentu saja tak hanya mungkin, tapi niscaya. Keriuhan percakapan di media sosial dan “politisasi agama” sempat merenggutnya. 

Semangat transedensi yang disandang terpinggirkan sementara oleh kehausan profanitas, ketamakan dunia dan berbagai agenda politis manusia yang melahirkan: Islamophobia. Islam dijauhkan dari kemanusiaan, yang sifat azalinya dihimpun oleh energi-energi suci. 

Bagaimanapun, jika menilik sejarah, Islam tak tergoyahkan oleh keanggunan parasnya. Sebagai risalah kebenaran yang diturunkan dari langit, Islam diberi “jubah sempit” di Indonesia pun di sepenjuru jagat abad ini. 

Orang-orang tak diberi ruang yang cukup untuk menikmati keelokannya. Sudah waktunya, hari ini kita mengetuk pintu-pintu khasanah agung jiwanya yang lain: seni Islam. 

Mereka yang bertekun mengekstrak hatinya, menyentuh Islam tidak hanya merujuk secara tekstual saja di Kitabullah, namun dengan aforisme yang khusyuk dari sajak penyair Sutardji Calzoum Bachri, pastilah merasai ekstase spiritual ini: 

Walau penyair besar 
Takkan sampai sebatas Allah 
Dulu pernah kuminta Tuhan 
Dalam diri 
Sekarang tak 
Kalau mati 
Mungkin matiku bagai batu tamat 
Bagai pasir tamat tujuh puncak membilang-bilang 
Nyeri hari mengucap-ucap 
di butir pasir kutulis rindu rindu 
Walau huruf habislah sudah 
Alif bataku belum sebatas Allah 

Ibnu Sina, Al-Jurjani, serta Ibnu Arabi menyatakan bahwa asal usul karya seni semata imajinasi kreatif seniman. Yang merupakan wakil ‘alam al misal (alam misal), dan alam misal berfungsi menjadi barzakh (perantara) atas ‘al-nasut (alam kemanusiaan) dengan ‘alam al-lahut, yakni semesta ketuhanan atau transendensi. 

Tak pelak, seni adalah hasil kreativitas manusia yang memesona inderawi kita. Yang kemudian, mendekatkan pada dzat-Nya, seperti juga sajak-sajak legendaris memukau diwan Jallaludin Rumi yang kita kenal di Masnawi. 

Meski sempat ditentang para ulama lain pandangan para Sufi itu pada abad ke-15, barulah kemudian pada abad ke-16 memunculkan ulama yang diterima oleh hampir semua dunia Islam (Persia, Arab, Turki dll), yakni pelukis cum kaligrafer Qadi Ahmad, dengan sajaknya yang memikat: 

Tuhan mencipta dua jenis kalam 
Yang satu dari tetumbuhan, memukau jiwa 
Dan menjelma batang tebu bergula 
Dari tunasnya memutik seni khat memesona 
Yang lain berasal dari hewan 
Yang kilauan sinarnya bak permata 
Memancar dari sumber air hayat 
Yaitu kuas untuk membuat lukisan 

Sastrawan dan sarjana Islam kita yang disegani, Abdul Hadi WM, menyebut bahwa kalam pertama Qadi bertalian dengan kaligrafi (khat) dan seni hias tetumbuhan. Kalam kedua berkenaan dengan lukisan miniatur, yang menyajikan gambar makhluk hidup atau figur tokoh-tokoh bersejarah. 

Ujaran-ujaran Qadi Ahmad, sebagai perintis penting perkembangan seni rupa Islam, yang memberi amunisi penuh perkembangan khasanah Islam yang agung tersebut. 

Pada perspektif lain, Qadi meletakkan klaim kokoh, gambaran makhluk hidup bukanlah tabu dalam seni Islam. Yang kemudian, dengan sangat progresifnya, Islam menerima pula secara terbuka, terlebih pada abad ke-18 dan ke-19, terutama di wilayah Arab, Persia, Afrika, sampai akhirnya pada Islam di Nusantara terimbas pengaruh. 

Karya Khairunnisa Affandi
Kita bisa menelusuri jejaknya pada desain batik yang ada di Jawa, Cirebon, dan Madura sebagai misal, sangat terpengaruh seni miniatur Islam ini. 

Pada abad-abad yang sama pula, peradaban Eropa terinspirasi arah jiwa “orient” yang memengaruhi nama-nama besar pelukis seperti Rembrandt, Delacroix, sampai Matisse. 

Mereka ini berhutang pula pada dunia seni Islam, utamanya seni miniatur Islam, yang mengekspose gaya figuratif, geometri, maupun bentuk-bentuk esensial secara abstraktif tubuh manusia dan alam yang bersentuhan pula dengan seni Islam di China, Tibet maupun India. 

Tassawuflah, sebagai hulu yang dibawa Qadi akhirnya memazmurkan khasanah seni Islam modern yang setara dengan peradaban Barat lainnya berabad-abad kemudian. Kita akan selalu mengingat, bagaimana sastrawan kampiun dunia Barat, Goethe, sangat memuja Nabi Muhammad SAW. 

Islam, kukuh memanggungkan keindahan transedental dan tak tertolak oleh kalbu seniman bukan? (Kompas)