Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
Bagi mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme, kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.
Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan
utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme,
menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang
dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah,"
tutur Samin.
Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah
menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan
melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai
dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak
mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan:
melawan!
Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena
berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka
memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan
pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak
menerima bantuan dalam bentuk uang.
Tabu Berbohong Raden Kohar
atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin
lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang
ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh.
Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di
Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di
Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung)
tahun 1802-1826.
Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme
muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang
sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan
rakyat terhadap Belanda.
Misalnya, tidak mau membayar pajak.
Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat,
dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan
kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko
mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa
pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan
Amartapura.
Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika
(bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam,
dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut
masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang
ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.
Samin
Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah
hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin
sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini,
krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa
yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji
lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.
Arus globalisasi sering
dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat
Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah,
saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan,
keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.
Seolah-olah
tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki,
rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik
sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa
masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak,
orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik
sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta
saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus
Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu,
dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin
dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan
mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan
awal kerusakan di bumi.
Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo
Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya".
Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk
mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia
sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami.
Secara
eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan
sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap
menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan
amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.
Bangsa yang tersohor
dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa
kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.

