Ketenangan menjadi prioritas yang tak bisa lagi
digugat. Di tengah hiruk-pikuk duniawi, orang sering lupa jati diri.
Ketika kegelisahan menghampiri, beragam cara dilakukan supaya tenang,
antara lain dengan laku eneng, ening, enung. Lara lapa adalah unsur
batin dalam hati yang ingin bersujud kepada Sang Pencipta.
Bagaimana langkah menuju keheningan lewat eneng (diam), ening
(menjernihkan pikiran), dan enung (merenung) serta mawas diri untuk
mencapai dunung (paham, sadar)? Ketika ada pertanyaan, misalnya, apa
tujuan puasa, orang sering menjawab ingin bahagia. Orang lazim melakukan
olah prihatin lewat lara lapa karena ada keinginan dalam hati. Lara
lapa bukan berarti menyakiti diri sendiri atau menjadikan diri sengsara,
melainkan tirakat sebagai salah satu bagian untuk mewujudkan kearifan.
Dalam laku Jawa, ada istilah merendahkan diri di hadapan Yang Maha
Agung. Misalnya, merasakan apa yang tak biasa dilakukan kebanyakan
orang. Itu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ada
ungkapan: pintere den dokok wingking bodhone den ayunke (kepandaian
disembunyikan, kebodohan ditunjukkan). Srawung Jawa mengedepankan tan
hanggunggung diri (tidak menyombongkan diri) dan lembah manah (sabar).
Istilah-istilah itu bukan berarti menunjukkan orang Jawa bodoh, tak tahu
apa-apa. Namun menempatkan lara lapa ke posisi untuk menata jiwa
nggayuh kamulyan.
Menemukan jati diri lewat lara lapa untuk menata olah cipta agar
pikiran eneng. Dengan kejernihan pikiran, muncul keinginan dalam hati
untuk berbuat baik. Dua hal itu yang memengaruhi rasa setiap insan.
Disebutkan macapat karya Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh pupuh
kinanthi: dadiya lakunireku/cegah dhahar lawan guling/lan aja kasukan
sukan/anganggoa sawatawis/ala wateke wong suka/nyuda prayitna ing batin.
Artinya: jadikanlah lakumu itu, dengan mengurangi makan dan tidur,
dan jangan berfoya-foya, kesederhanaan lebih utama, jelek watak orang
yang berfoyafoya, akan mengurangi ketajaman batin. Untuk mencapai
tataran ening, salah satu cara adalah toriq (tirakat) atau mranata budi
nggesangake jiwa (menata hati menghidupkan jiwa). Laku sedemikian itu
bukan hanya mengasah kecerdasan otak, melainkan menempa ketajaman batin.
Keyakinan menata cipta dan hati kepada Pencipta Kehidupan, dengan
menaati guru menyatu dengan badan menjalankan laku suci ditunjukkan oleh
Werkudara. Werkudara dengan penuh keyakinan, lewat lara lapa,
menjalankan perintah Mahaguru Resi Drona untuk mencari galih kangkung
susuhing angin di Gunung Reksamuka. Dia menjalankan perintah dengan
keyakinan dan membuahkan hasil, walau sang mahaguru tak tahu apa yang
terjadi pada sang murid.
Werkudara bertemu Batara Indra dan Batara Bayu. Kedua dewa itu
mewejang makna galih kangkung susuhing angin. Juga menghadiahkan cicin
mustika Manik Candrama yang bisa digunakan masuk ke samudra tanpa
kesulitan. Werkudara masuk hutan, membebaskan raksasa penunggu hutan
dari hukuman.
Dia memperoleh petunjuk tentang tirta pawitra sari, air kehidupan.
Lalu, dia masuk ke dalam samudra, setelah mohon restu dari sang ibu
Kunti Talibrata dan semua saudara. Restu semua orang terdekat itu
membuat Werkudara eneng, ening, enung, dan menemukan apa yang dia
cari. Ya, di kedalaman samudra dia mendapat wejangan kehidupan serta
kedamaian jiwa hingga tataran makrifat dari Dewa Ruci — yang sejatinya
adalah dirinya sendiri.
Laku spiritual untuk mencari keheningan antara lain juga ditempuh
orang lewat kungkum. Kungkum menjadi sarana mencapai enenging budi lan
pamanggih dalam diri dan perbuatan. Juga sarana pengendalian dan
penyesuaian diri dengan lingkungan. Olah itu menjadikan orang makin arif
memandang masalah; bukan hanya menyalahkan dan menghakimi secara
sepihak.
Olah budi berbeda dari olah pikir. Pencapaian olah budi adalah
pencerahan. Eneng untuk menciptakan ening, sehingga terwujud enung
adalah proses olah batin yang secara bertahap menempa kejiwaan. Bukan
sekadar olah pikir. Dan lara lapa adalah realitas dalam menjalankan
kodrat, yang tercermin dalam ungkapan bisa-a rumangsa, ora rumangsa
bisa, bisa membedakan mana benar dan mana salah.
