Cerita Kita - Indonesia terkenal dengan berbagai suku dan budaya, maka tak heran jika Indonesia juga memiliki beragam tradisi yang sudah melekat dari jaman nenek moyang.
Termasuk tradisi jelang Hari Raya Idul Fitri yang berbeda-beda.
Biasanya masyarakat Jawa akan menyambut hari ke-21 bulan Ramadan dengan malam selikuran.
Tapi warga Demak punya cara tersendiri untuk menyambut hari tersebut.
Kota Wali di Jawa Tengah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam pada awal masa penyebarannya ini menyimpan tradisi Weh Buweh yang tak lekang digerus zaman.
Tradisi yang juga disebut Weh Wehan ini merupakan tradisi bertukar makanan yang disajikan di depan rumah masing-masing.
Momen Weh Buweh ini biasanya digelar lepas shalat maghrib hingga menjelang isya.
Makanan yang ditukarkan sesuai dengan ciri khas keluarga masing-masing.
Tradisi Weh Buweh berpusat di sepanjang Jalan Sampangan hingga Domenggalan, Kelurahan Bintoro, Demak.
Permukiman padat penduduk itu terlihat semarak oleh lalu lalang masyarakat yang saling menyapa sambil menukarkan berbagai bentuk sajian.
Senyum ceria menghiasi raut setiap yang terlibat. Di kanan kiri, terlihat juga balon warna-warni yang menambah ceria suasana.
Tokoh masyarakat setempat Ahmad Zaky Mubarok, yang lahir dan dibesarkan di Kota Wali Demak, menuturkan, tradisi Weh Buweh ini sudah dilakukan secara turun temurun.
“Entah sejak kapan tradisi ini ada dan siapa yang memulainya. Yang jelas, menurut saya, tradisi Weh Buweh adalah baik karena mengajarkan anak untuk saling berbagi, saling memberi atau bertukar jajan-makanan antar tetangga dan saudara juga melatih anak atau seseorang berbuat jujur dan menjalin silaturahim,” jelas Zaky.
Tradisi Weh Buweh di Demak menjadi menarik karena untuk memberi atau mengambil makanan tak harus ada si empunya rumah.
Makanan sudah disajikan di tempat yang terjangkau baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Jadi siapa pun bisa mengambil dan menaruh makanan sesuai keinginannya.
Di sinilah terlihat kejujuran, tidak ada yang saling mencurangi, misalnya hanya mengambil tanpa memberi.
Semua warga sudah yakin bahwa tradisi Weh Buweh menjadi salah satu bekal untuk menuju Malam Seribu Bulan atau Lailatul Qodar.
“Tradisi Weh Buweh menjadi satu momentum silaturahmi, tak ada saling menjahati atau menyakiti, di sini silaturahim menjadi kembali tulus, saling memberi tanpa pamrih, tanpa memilih siapa yang disukai siapa yang tidak disukai,“ ujarnya.
Tradisi Weh Buweh juga menjadi sebuah ajang netralisir kepentingan.
Sebab di sini siapapun berhak memberi dan menerima makanan yang ada tanpa pembatasan kasta. Hanya kejujuran dan tenggang rasa yang mewarnai.
Keindahan ini lalu ditutup selepas maghrib dengan memulai itikaf di tempat-tempat ibadah untuk mencari berkah Ramadhan.