-->

Breaking

logo

Rabu, 23 Maret 2022

Resik Lawon, Tradisi Bersihkan Kain Kafan Jelang Ramadhan di Banyuwangi

Resik Lawon, Tradisi Bersihkan Kain Kafan Jelang Ramadhan di Banyuwangi

Warga mencuci lawon (kafan) © Budi Candra Setia

Cerita Kita - Warga Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan/Kabupaten Banyuwangi terus memegang erat tradisi. Sebelum memasuki bulan Ramadan, mereka menggelar tradisi Resik Lawon.

Resik dalam bahasa Jawa memiliki arti bersih-bersih, sementara Lawon adalah sejenis kain mori atau kain kafan. Dalam tradisi ini, ada kain sepanjang 110,75 meter yang dibersihkan bersama-sama keturunan leluhur warga setempat.

Tradisi resik lawon ini tujuannya untuk menghormati Ki Wongso Karyo atau biasa dikenal dengan Buyut Cungking yang merupakan sesepuh yang mbabat alas (membuka hutan) membangun daerah Banyuwangi yang dahulu masih masuk wilayah Kerajaan Blambangan.

Biasanya Ritual Resik Lawon ini dilaksanakan di Petilasan Buyut Cungking setiap tahun menjelang bulan ramadhan antara tanggal 10 hingga 15 bulan ruwah kalender Jawa dan harus diikuti oleh para keturunan dari abdi dalem Buyut Cungking.

Ritual yang sudah dilakukan selama ratusan tahun secara turun temurun ini, diawali dengan gotong royong warga membersihkan petilasan Ki Buyut Cungking dari debu dan kotoran. Kemudian, mereka melepas kain putih yang menutup cungkup makam dan kelambu yang ada di sekitarnya.

Kemudian, kain-kain tersebut dilipat untuk dicuci di Dam Krambatan, Banyu Gulung yang berada di Kelurahan Banjarsari.

Warga berjalan kaki memikul lawon (kafan) © Budi Candra Setia

Setelah dimasukkan ke dalam besek, para keturunan abdi dalem memikul lawon yang diikat dengan tali dan kayu. Jarak yang harus ditempuh untuk menuju Dam Krambatan sekitar 3 kilometer dan harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Begitu tiba di sungai, kain putih panjang itu langsung digelar dan dicuci bersama-sama.

Setelah lawon dicuci, warga kembali membawanya ke balai tajuk yang ada di lingkungan cungking. Di sana, kain kembali dibilas sampai tiga kali dengan air bersih yang sudah ditaburi bunga tujuh rupa, lalu diperas tiga kali juga.

Warga menjemur lawon (kafan) © Budi Candra Setia


Baru kemudian kain lawon ini dijemur di tengah jalan desa dengan memakai bambu setinggi empat meter dan diikat tali tambang. Selama dijemur, kain lawon tersebut tidak boleh jatuh dan terkena tanah, karena dipercaya akan berimbas kepada kondisi tertentu.

Uniknya ritual ini hanya dilakukan oleh kaum pria, sedangkan kaum perempuan hanya menyiapkan masakan di Balai Tajuk untuk disajikan kepada para tamu-tamu dan kaum pria setelah menyelesaikan ritual tersebut.

Hal unik lainya dari ritual ini adalah banyak warga masyarakat yang berebut bekas air perasan dari kain lawon tersebut. Mereka meyakini jika meminum bekas air perasan tersebut akan awet muda, mendapat keberkahan serta kesehatan.

Tradisi Resik Lawon diakhiri dengan nyekar bersama ke makam Buyut Cungking sebagai permintaan maaf apabila ada kesalahan selama upacara berlangsung.