-->

Breaking

logo

Jumat, 23 April 2021

Meluruskan Mitologi Lowo Ijo

Meluruskan Mitologi Lowo Ijo

Jejak Mataram di situs Pleret © Tribunnews


Cerita Kita - Kalau ada yang suka membaca novel tayang berseri di Kedaulatan Rakyat Jogjes, pasti ingat serial Seri Api di Bukit Menoreh. Dan juga Keris Kanjeng Kyai Nogososro Sabukinten. Kalau Seri Api di Bukit Menoreh, tokoh protagonis adalah Agung Sedayu dengan antagonisnya musuh-musuh Mataram baik yang dapat ditelusuri jejak sejarahnya, atau pun murni khayalan imajiner. 

Yang lebih sensasional adalah Nogososro Sabuk Inten. Ada tokoh protagonis yang sakti mandraguna, dengan ajian Sosrobirowo yakni Mahesa Jenar alias Ronggo Tohjoyo. Seorang perwira dari kerajaan Demak yang diembani tugas mencari pusaka Demak yang hilang: Nogososro dan Sabuk Inten.

Dalam perjalanannya, Mahesa Jenar bertemu sesama protagonis seperti Gajah Sora, Lembu Sora, Arya Saloka yang adalah anaknya Gajah Sora, dan sebagainya. Di sisi lain, SH Mintarja selaku novelisnya juga menampilkan tokoh-tokoh antagonis antara lain: Pasingsingan, dan Lowo Ijo. 

Lowo Ijo dikesankan sebagai tokoh jahat dan ahli sihir dengan lengkingan memekakkan telinga. Gurunya dalah Pasingsingan yang juga diidentikkan dengan kejahatan malam. 

Saya termasuk penggemar SH Mintarja. Seiring perjalanan waktu, di sisi cerita lain, ternyata ada kemungkinan "salah bercerita" atau mitos yang keliru tentang Lowo Ijo dan Pasingsingan. 

Bisa jadi hanya nama yang sama. Namun kalau kita telusuri sejarah, Pasingsingan adalah seorang Tumenggung atau sekelas Menteri yang terhormat dan punya jiwa perwira. Lowo Ijo, ternyata adalah murid dari tokoh penyebaran agama Islam khususnya di Jawa Timur.

Pasingsingan 

Dalam Babad Tanah Jawi diceriterakan, asal-usul Tumenggung Pasingsingan berasal dari Pati, pertama kali mengabdi di Mataram menjadi pekatik atau tukang mencari rumput makanan kuda. 

Karena rajin dan bertanggungjawab, kemudian dijadikan lurahing prajurit dan disayang oleh Kangjeng Pangeran Rangsang. Ketika Pangeran Rangsang jumeneng nata dan pindah ke Pleret, Pasingsingan dipercaya untuk membangun kraton baru tersebut, hingga diberi pangkat tumenggung. 

Dengan demikian Tumenggung Pasingsingan tahu betul seluk-beluk tentang bangunan kraton Mataram di Pleret, termasuk dimana yang ringkih karena dia yang membangun.

Dari sini cerita saling "menjatuhkan" terjadi. Bagi rakyat Mataram yang "pro Amangkurat I" yang memindahkan kraton ke Pleret, Pasingsingan akhirnya ditokohkan sebagai "antagonis". Namun bagi sisi lain, Pasingsingan adalah orang yang lurus karena menegakkan aturan agama.

Bagaimana kebenarannya, wallahu alam. 

Namun kelak di kemudian hari, Kraton Mataram Pleret akhirnya dibumihanguskan oleh pasukan Trunojoyo. Trunojoyo sendiri terbilang masih cicit dari Sultan Agung dari jalur darah Madura. Hiruk pikuk cerita ini silakan ditelusuri dalam link sbb: TRUNOJYO 

Lowo Ijo

Siapakah Lowo Ijo ini? 

Pondok Pesantren di Bangil Pasuruan Jawa Timur berkisah tentang ini.  Berbicara tentang pesantren, dalam sejarah Bangil memiliki pesantren yang sangat tua usianya, kurang lebih berusia 300 tahun lebih. Hal ini masuk akal karena jalur tapal kuda tersambung langsung dengan pesisir di mana kaum pedagang dari Yaman dan India juga sering berinteraksi. 

Di lihat sisi arsitektur bangunan, pesantren tersebut memang memiliki usia yang sudah tua. Pesantren yang bertempat di kelurahan Gempeng Bangil ini diberi nama Pondok Cangaan. Santrinya meluas dari Nusantara maupun Malaysia Brunei SIngapura dan Filiphina. Jalur santrinya memang mendunia ketika itu. 



Nah, pondok Cangaan menyimpan sejarah yang luar biasa. Pendiri pondok tersebut adalah wali Allah yang memiliki julukan Mbah Lowo Ijo (makamnya di Diwet Pogar), dengan nama asli Syekh Jalaluddin atau Syekh Abdul Qodir. 

Diberi julukan Mbah Lowo Ijo karena saat di kejar-kejar penjajah beliau menjelma menjadi Lowo Ijo. Dalam cerita yang lain disebutkan, julukan Lowo Ijo itu karena saat 10 ke tiga bulan Ramadan beliau melakukan sholat dan munajat di ranting-ranting pohon bahkan dedaunan. Kisah lain bahwa almarhum sangat suka bergamis hijau yang dinisbatkan sebagai warna kesukaan Nabi. 

Kok Bisa Antagonis?

Lantas pertanyaannya, mengapa Pasingsingan dan Lowo Ijo dijadikan peran sebagai antagonis dalam novel berkisah seputaran sejarah Matrama dan Demak? Bahkan ada sinetron dan film menceritakan kejahatan tokoh Lowo Ijo sebagai perampok dan perusak tatanan sosial rakyat.

Lha kok bisa seh, tokoh pesantren dijadikan tokoh antagonis? Atau namanya kebetulan sama ya? 

Jawaban simpel: ya suka suka penulisnya.

Jawaban rumit: mungkin ada keberpihakan politis di mana kekuatan politik Mataram di sisi Barat kadang bisa berbenturan dengan politik di kawasan tapal kuda sisi Timur.

Jawaban yang benar: silakan bertanya ke ahli sejarah.

Setidaknya artikel ini mewartakan bahwa sebagian novel itu ada yang kurang pas dalam memfigurkan tokoh-tokohnya. Terutama, Syeh Jalaluddin Lowo Ijo dan Kanjeng Raden Tumenggung Pasingsingan.

Wallahu'alam.

Nugroho Endepe