-->

Breaking

logo

Kamis, 21 Januari 2021

Gunung Merapi dalam Khazanah Budaya Masyarakat Jawa

Gunung Merapi dalam Khazanah Budaya Masyarakat Jawa



Cerita Kita - Sejak 5 November 2020, Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Kementerian ESDM, memperingatkan bahwa aktivitas kegempaan Gunung Merapi sedang meningkat. Kemudian melansir Antaranews, pada hari minggu 8 November 2020, terjadi guguran di lereng Gunung Merapi sisi barat pukul 12.50 WIB.
Meskipun sudah berulangkali Merapi menunjukan kekuatannya namun masyarakat di seputaran gunung ini masih setia memeluknya. Kedudukan Gunung Merapi dalam budaya masyarakat termasuk istimewa.

Masyarakat Jawa khususnya dalam lingkup budaya Yogyakarta melihat Merapi memiliki hubungan dengan penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul. Kemudian Kraton Yogyakarta yang berada di antara gunung dan laut tersebut memainkan peran besar pada hubungan itu. Secara periodik kraton mengadakan tradisi labuhan di Gunung Merapi, untuk menghormati penguasa Laut Selatan.

Karena masih adanya keyakinan mistis dalam masyarakat, mereka yang tinggal di sekitar Merapi rela mengorbankan nyawanya untuk “mengabdikan” dirinya ke gunung Merapi. Oleh karena itu, untuk menangani masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Merapi, tidak bisa hanya dengan penjelasan rasional saja, agar mereka mau mengungsi bila terjadi erupsi. Penjelasan spiritual tradisional harus dilakukan, seperti yang pernah dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika Merapi Meletus dahsyat tahun 2010.

Dari laman inilah.com, bahwa ada hubungan yang tak terpisah antara Gunung Merapi di ytara kemudian Kraton Yogyakarta di tengah dan Laut Selatan. Merapi dan Laut Selatan dianggap menjadi pusat dari mikrokosmos atau jagat kecil berisikan mahluk-mahluk kasat mata. Kemudian makrokosmosnya adalah Kraton Yogyakarta yang memainkan keseimbangan di antara dua pusat mikrokosmos itu.

Area Kraton Yogyakarta berada di dalam garis yang menghubungkan antara Merapi dengan Laut Selatan. Garis itu dimulai dari puncak Merapi kemudian bergerak ke selatan melalui Tugu, Jalan Malioboro, Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, Bantul dan berakhir di Laut Selatan.

Masyarakat di sekitar gunung tak pernah merasa berada dalam ancaman. (Foto: MP/Teresa Ika)
Di samping itu masyarakat Jawa juga masih mengganggap gunung sebagai simbol tersendiri. Seperti dalam karya-karya seni, misalnya lukisan di dalam rumah, motif kain batik, ukiran-ukiran, sinetron Mak Lampir. Bila melihat Gunungan menjadi simbol utama dalam cerita pewayangan, sebagai lambang kekuatan alam semesta.

Selain itu Gunungan sering muncul dalam upacara tradisional Garebeg di Kraton Yogyakarta yang dibuat dari berbagai jenis makanan dan sayuran. Pada saat Gunungan makanan itu disajikan, masyarakat “ngalap berkah” atau istilah untuk berebut makanan tersebut.

Tak hanya Gunungan perlambang kekuatan gunung itu, tradisi tumpeng merupakan salah satu simbol itu. (merahputih)