-->

Breaking

logo

Rabu, 27 Juni 2018

Senjakala Kesenian Damarulan Khas Kota Banjarmasin

Senjakala Kesenian Damarulan Khas Kota Banjarmasin


Cerita Kita - Kesenian wayang Damarulan kini semacam hidup segan mati tak mau. Boleh dikatakan ada, tapi jarang tampil di hadapan khalayak. Di Kota Banjarmasin, kesenian ini ibarat makin lenyap tergerus perubahan zaman.

"Boleh dikatakan, kesenian khas Kota Banjarmasin, Damarulan nyaris punah," kata anggota senior grup Damarulan Badawa, Andin Zulkifli kepada banjarhits.id di kediamannya kawasan Sungai Gardu, Kelurahan Pangambangan, Minggu (24/6/2018).

Kesenian Damarulan kerap dipentaskan di bawah temaram cahaya bulan dengan sentuhan lampu dadamaran—pantulan sinar dari pembakaran getah damar. Menurut Andin, Damarulan merupakan kesenian zaman baheula sebelum warga Banjarmasin mengenal bola lampu. Itu sebabnya, cara memainkan Damarulan dibantu pancaran sinar bulan.

Andin berkata pemain Damarulan memakai dialog berbahasa Jawa Sanskerta. Lakon yang dibawakan bermacam-macam, mulai cerita berlatar Kerajaan Blambangan dan Kerajaan Majapahit dengan adegan perang tanding Raden Damar Wulan melawan Raja Minak Jinggo memperebutkan Dewi Putri Kencana Ungu.

Selain itu, Damarulan kerap berkisah lakon Mahabharata, Ramayana, syair Siti Zubaedah, Brama Syahdan, legenda dan sejarah Lambung Mangkurat, Pangeran Samudera alias Sultan Suriansyah, kisah lamut Bujang Maluala, Raden Kasan Mandi, dan Bujang Sakti.

Menurut Andin, dari empat sanggar yang biasa memainkan Damarulan di era tahun 90-an, tersisa satu sanggar yang masih bertahan sampai 2018. Adapun tiga sanggar lainnya yang beralamat di Pekauman, Banyiur, dan Pangambangan, sudah menanggalkan kesenian itu sejak tahun 2000-an.

"Di Pangambangan dulu ada sanggar Damarulan pimpinan kakek Jidi, juga sudah habis. Kini tersisa Grup Badewa  di Kampung Melayu yang pindah sekretariat di Komplek Ahmad Yani I," kata Andin. Grup Badewa ketika masih bermarkas di Kampung Melayu dimotori oleh Gusti Jailani sampai tahun 2000-an.

Menurut sejarah, kata Andin, Grup Damarulan Badawa berdiri tahun 1.900-an. Pendirinya bernama Pangeran Ahmid dan Gusti Husin asal Kampung Melayu Hilir, Kota Banjarmasin. Badawa merupakan akronim dari tiga jenis kesenian khas daerah yang dipengaruhi oleh keraton Banjar, yakni (tari) Baksa, Damarulan, dan Wayang Sampir (wayang yang dimainkan khusus untuk kepentingan hajatan).

Kesenian Damarulan dimainkan turun temurun di kalangan keluarga  pegustian, dari kakek turun ke anak-cucu atau dari paman ke keponakan. Dari Pangeran Ahmid, kepemimpinan Badawa berturut-turut diteruskan oleh seorang putranya bernama Gusti Amir, Gusti Husin, Gusti Jailani dan kini dilanjutkan oleh Andin Zulkifli sebagai pewaris tradisi pemain Damarulan.

"Kami ini generasi kelima. Para pendukung cerita Damarulan asalnya memang keturunan raja Banjar para gusti," ujar Andin.

Damarulan sempat naik daun pada 1960-an di era kepempinan Gusti Husin. Damarulan ketika itu manggung sampai lima malam dalam seminggu di acara-acara penggalangan dana pembangunan sekolah atau memeriahkan perkawinan.

"Puncak keemasan Damarulan tahun 1974. Setelah itu, mulai meredup ketika para tokoh banyak yang berpulang," kata Andin yang mulai aktif sebagai pemain sekaligus penulis naskah cerita sejak 2007.
Di zaman kakeknya, Andin berkata persiapan sebelum pentas tidak sembarangan. Ada ritual-ritual khusus bersifat mistik yang mesti dilakoni. Misalnya, menyiapkan wadai 41 (41 jenis kue langka khas Banjar).

"Sebelum main basalamatan dulu (upacara matur dahar). Batimbun asap (membakar dupa), bamamang (merapal mantra) dulu kalau akan main," ujar Andin, pemegang peran antagonis sebagai Prabu Minak Jinggo dan Sultan Aliuddin ini.

Andin sempat kecewa dan prihatin ketika Grup Badawa tampil di panggung kelas dua dan berlokasi tidak strategis saat memeriahkan acara Hari Jadi Kota Banjarmasin tahun 2016. Panitia dari Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin justru lebih memprioritaskan penampilan band anak-anak muda di panggung utama ketimbang kesenian tradisional.

"Kami sudah berpakaian siap tampil, panggung tempat kami akan main lebih kecil, tidak ada lampunya lagi. Sampai jam 9 malam lewat menunggu (genset) akhirnya kami nekat main dalam keadaan gelap gulita," ujarnya.

Sepanjang tahun 2018, Andin dan kelompoknya sudah tiga kali tampil. Para pengundangnya seperti KPUD Kabupaten Banjar untuk sosialisasi pilkada serentak, memeriahkan acara perkawinan warga di Pangambangan Banjarmasin, dan syuting acara budaya di TVRI Kalimantan Selatan.

"Tahun 2017 jadwal kosong, tak ada undangan main sama sekali," pungkas Andin. (Kumparan)