Cerita Kita - atatan: Artikel ini banyak mengandung istilah-istilah dalam bahasa Pali. Jadi mohon bisa dikondisikan ya.
Jadi begini....
Konon kabarnya pada bulan purnama di kisaran bulan Mei, sekitar 2500-an tahun lampau seorang pangeran dari suku bangsa Sakya yang terkenal dengan nama Siddhatta Gotama lahir. Tiga puluh lima tahun setelahnya, pada bulan yang sama dan di hari purnama juga, pangeran yang kemudian berubah profesi menjadi pertapa itu memperoleh jawaban dari segala kegalauannya tentang lahir, tua, sakit, dan mati yang bagi sebagian orang membuat menderita.
Sejak itulah beliau memperoleh julukan sebagai Buddha, 'orang yang tercerahkan'. Dalam tradisi Buddhis, beliau bahkan sering disebut dengan Sammsambuddha, 'yang telah mencapai penerangan sempurna'. Kemudian setelah empat puluh lima tahun membabarkan apa yang telah diketahuinya, beliau mencapai Parinibbna (baca: wafat dan tidak terlahir kembali karena telah keluar dari sistem tumimbal lahir)
Purnama di bulan Mei itu kalau di kalender ala India (kuno) jatuh pada bulan Veskha (ini nama versi Pali dari nama bulan yang kalau di bahasa Sanskerta dieja Vaikha yang darinya bahasa Indonesia memiliki kata Waisak). Nah, itu sebabnya suatu hari yang digunakan untuk memperingati tiga hal yang berkaitan dengan hidup, pencapaian, dan wafatnya Sang Buddha disebut dengan perayaan Waisak.
Perayaan Waisak adalah salah satu perayaan dalam tradisi masyarakat Buddhis selain dari beberapa perayaan yang lain seperti: sha (perayaan untuk mengingat pembabaran ajaran yang disingkapkan pertapa Siddhatta Gotama untuk yang pertama kali), Kahina (perayaan untuk mengingat masa di mana para bhikkhu telah selesai melakukan masa vassa kemudian para umat awam mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan bagi para bhikkhu), dan Mghapj (perayaan untuk mengingat peringatan berkumpulnya 1250 orang bhikkhu yang telah mencapai arahant dan dibabarkannya Ovdapatimokha).
Baik sementara itu dulu tentang Waisak dan beberapa perayaan dalam masyarakat Buddhis. Nah, sekarang pasti ada pertanyaan kan, sebenarnya apa sih yang dicapai Pertapa Siddhatta Gotama itu sehingga dia disebut sebagai Buddha? Sampai-sampai waktu pencapaiannya harus diperingati oleh mereka yang menganggap Pertapa Siddhatta Gotama sebagai Buddha?
Semua bermula ketika beliau mengalami kegalauan yang teramat akut. Galau yang mungkin terasa aneh buat anak-anak sekarang. Ya bagaimana tidak aneh? Hanya karena melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa saja bisa mengguncangkan jiwanya. Kalau orang sekarang bilang mungkin bilang, "Pikir keri wae, Bos!" Tapi ya memang kualitas kita beda sih ya sama Pangeran Siddhatta. Kemudian, kegalauan itu menghantarkannya kepada kehidupan menjadi pertapa.
Berbagai guru di daratan India kala itu beliau datangi. Dari beberapa guru itu pula ilmunya telah terserap semua. Namun ternyata tidak ada yang bisa memuaskan beliau. Jawaban dari usia tua, sakit, dan mati yang menimbulkan penderitaan ternyata belum ketemu. Hingga akhirnya beliau melakukan pertapaan yang sangat keras. Sampai konon kabarnya yang tersisa tinggal badan kulit. Menurut cerita pula, pada saat beliau menjalani pertapaan yang keras tersebut, beliau sudah seperti kerangka yang hanya dibalut kulit saja. Bagian perut beliau jika disentuh akan mengenai kulit punggung bagian belakang. Ngeri kalau dibayangin, mah.
Namun akhirnya beliau tersadar bahwa pertapaan yang keras ini tidak membawa hasil. Keadaan badan yang lemah ternyata tidak dapat membuat seseorang berpikir dengan jernih. Singkat cerita beliau kemudian memoderasikan jenis pertapaannya, yang oleh beberapa cendekiawan disebut sebagai jalan tengah, menghindari usaha ekstrem kanan (mengumbar hawa nafsu sampai puas sepuas-puasnya) dan ekstrem kiri (bertapa menahan nafsu sampai badan kurus tinggal tulang).
Sampai saatnya beliau lalu menemukan momen pencerahannya. Jawaban dari kegalauan terhadap usia tua, sakit, dan mati akhirnya muncul di kepalanya sebagai sebentuk pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang suatu hukum yang ada sejak dulu kala. Momen inilah yang menurut cerita terjadi di bulan purnama di bulan Veskha pada saat beliau bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Ficus religiosa L).
Formulasi pencerahannya dapat dirangkum dalam satu istilah yang biasa disebut Cattri Ariya Saccni yang sering pula disebut sebagai Empat Kebenaran Mulia. Wujud dari Empat Kebenaran Mulia itu adalah kebenaran mulia tentang dukkha (dukkha ariyasacca), kebenaran mulia tentang asal mula dukkha (dukkhasamudaya ariyasacca), kebenaran mulia tentang musnahnya dukkha (dukkhaniroda ariyasacca), dan kebenaran mulia tentang jalan musnahnya dukkha (dukkhanirodhagmin patipad ariyasacca).
Nah, sekarang apakah dukkha yang ada dalam kebenaran mulia yang pertama itu? Menerjemahkan dukkha sebagai 'penderitaan' saja ternyata kurang begitu menggambarkan makna dukkha secara komprehensif. Baik kalau begitu, kita ambil mudahnya saja. Seperti yang diterangkan dalam Dhammacakkappavattana Sutta atau 'Sutta tentang Pemutaran Roda Dhamma'. (Sutta dalam bahasa Pali kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia secara harfiah adalah 'benang' atau 'ceramah'.
Bagian Tipiaka yang menguraikan suatu ceramah dari Sang Buddha biasa diberi judul dengan akhiran sutta.) Dalam sutta itu disebutkan beberapa bentuk dukkha. Tiga di antaranya adalah berkumpul dengan yang tidak disenangi, terpisah dari yang disenangi, dan tidak mendapat apa yang diinginkan. Menilik dari kategori ini sudah pasti, segala bentuk kegalauan dengan sebab apa pun bisa dikategorikan sebagai dukkha, ketidaknyamanan dalam kehidupan.
Kebenaran mulia yang kedua adalah asal mula dukkha. Dalam ajaran Buddha yang menjadi sumber dukkha adalah sesuatu yang bersifat sangat psikologis. Sumber dukkha itu adalah tah. Secara harfiah tah itu bisa diartikan sebagai 'keadaan haus'. Nah, bisa dibayangkan kan? Seperti apa tah itu. Misal kamu lagi puasa. Kemudian entah karena sebab apa, kamu sangat hauusssss sekali. Terus tiba-tiba di depan kamu ada segelas sirop Marjan lengkap dengan isi buah potongan melon, semangka, dan cincau hitam.
Bagaimana perasaan kamu? Pasti kamu pengin banget meraih segelas es sirop itu bukan? Begitulah cara kerja tah. Sebab dari dukkha itu adalah karena manusia terlalu kehausan akan segala sesuatu yang membuat dirinya nikmat dan asoi, sehingga ingin meraih segala hal untuk bisa mencapai keadaan nikmat dan asoi itu terus menerus. Kalau bisa sikut kanan kiri, tarik atas injak bawah pun dilakoni juga tidak apa-apa. Yang penting aku senang, aku menang.
Kebenaran mulia ketiga adalah berita gembira bagi manusia yang terjerat dalam dukkha. Dukkha ternyata bisa dikurangi dan kalau latihannya kuat, dukkha (segala bentuk ketidaknyamanan batin) ternyata bisa dihilangkan. Manusia bisa terbebas dari segala bentuk penderitaan batin. Mencapai kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang tanpa syarat. Kebahagiaan yang terjadi bukan karena sebab dari luar.
Kemudian kebenaran mulia keempat adalah jalan atau cara untuk manusia bisa terbebas dari dukkha. Dalam khazanah Buddhisme jalan itu ada delapan ruas (Ariya Ahagika Magga). Delapan jalan itu adalah sammdihi (pengertian/pemahaman/pandangan benar), sammsakappa (berpikir secara benar), sammvc (berucap secara benar), sammkammanta (berbuat secara benar), samm-jva (bermata pencaharian secara benar), sammvyma (daya upaya secara benar), sammsati (perhatian secara benar), sammsamdhi (konsentrasi secara benar). Delapan jalan ini terlihat rumit ya. Tapi jangan kuatir. Delapan hal itu kalau diringkas hanya terdiri dari tiga bagian, yaitu sla, samdhi, dan paa.
Sla adalah aturan kemoralan yang harus dijalani oleh orang kalau ingin hidupnya terkurangi komoditi dukkha-nya. Aturan kemoralan ini minimal ada lima, yaitu tidak membunuh (apa pun tanpa kecuali), tidak mengambil barang yang tidak diberikan, tidak melakukan perbuatan seks yang salah, tidak mengucapkan ucapan bohong, dan tidak minum-minuman atau makan sesuatu yang dapat melemahkan kesadaran. Samdhi adalah latihan untuk mengembangkan kesadaran atau biasa dikenal dengan latihan pengembangan batin yang dalam bahasa orang umum adalah meditasi.
Dengan meditasi kita berlatih untuk selalu sadar setiap saat, sehingga bisa menjadi sadar akan setiap gerak pikiran. Dengan kesadaran yang kuat, perbuatan yang muncul di pikiran bisa kita pilah dan pilih mana yang mendatangkan maslahat mana yang dapat menimbulkan mudarat bagi manusia lain sehingga kita tahu mana yang pantas untuk disalurkan kepada perbuatan ucapan dan perbuatan badan. Dan akhirnya yang terakhir adalah menumbuhkembangkan paa atau pemahaman yang mendalam tentang hukum alam yang akhirnya menimbulkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang paripurna yang akan selalu membawa kepada win-win solution jika dihadapkan pada setiap permasalahan kehidupan yang dihadapi.
Eh tapi kalau segala uraian di atas masih terlalu jelimet, jangan kuatir. Buddhisme memberi jalan keluar yang mudah diingat untuk kita semua. Seperti yang dimuat dalam Ovdapatimokha Pha.
Sabbappassa akaraa
Kusalasspasampad
Sacittapariyodapana
Eta buddhna-ssana
Segala perbuatan yang buruk jangan lakukan
Perbanyak perbuatan baik
Sucikan pikiran
Ini adalah ajaran para Buddha
Dan berita baiknya, apa yang ditemukan oleh Pertapa Siddhatta Gotama yang dikenal dengan Buddha ini adalah seperti hukum alam lainnya. Dia tidak mengenal sekat agama, ras, dan bangsa. Dukkha dan sumber dukkha adalah masalah bagi manusia dan kemanusiaan di mana pun mereka berada. Sedangkan keluar dari dukkha, dan cara keluar dari dukkha seperti yang dirumuskan oleh Pertapa Siddhatta Gotama yang dikenal dengan Buddha dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa melihat dia beragama apa, ras apa, dan dari bangsa mana.
Bagi manusia-manusia yang mengaku murid dari Sang Buddha, yang disebut dengan agama Buddha atau ajaran hanyalah diumpamakan sebagai rakit. Hanyalah alat yang digunakan untuk mencapai pantai seberang, yaitu hilangnya dukkha. Murid Sang Buddha tidak diajari untuk menggotong-gotong rakit. Apalagi membawa rakit itu untuk dihantamkan kepada orang-orang yang tidak setuju dengan keberadaan rakit itu. Jika sudah sampai tujuan, ya sudah. Tinggalkan saja rakit itu tanpa ada kelekatan. Itulah kebebasan yang hakiki.
Akhirnya, selamat memperingati Trisuci Waisak 2562 Tahun Buddhis/2018 Masehi. Sabbe satt bhavantu sukhitatt. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Muh Taufiq
