Cerita Kita - Pasca Perang Paregreg, Majapahit di bawah pemerintahan Sri Suhita (1429-1447). Semasa pemerintahan Sri Suhita (putri Wikramawardhana dan Bhre Daha II ), terjadi peristiwa yakni eksekusi penggal kepala yang dilakukan sang raja sendiri kepada Bhra Narapati (Raden Gajah) karena telah membunuh Bhre Wirabhumi kakeknya sewaktu Perang Paregreg.
Karena Sri Suhita tidak berputra, maka sesudah kemangkatannya, tampuk pemerintahan Majapahit dikendalikan Dyah Kertawijaya (putra Wikramawardhana yang lahir dari selir). Semasa pemerintahan Kertawijaya (1447-1451), terjadi peristiwa gunung meletus, pembunuhan terhadap penduduk Tidung Gelating, dan pemberontakan Rajasawardhana pada tahun 1451.
Sejak tergulingnya kekuasaan Kertawijaya, Rajasa Wardhana naik tahta. Sepeninggal Rajasawardhana (1453), Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama 3 tahun yakni dari tahun 1453-1456. Pada tahun 1456, pemerintahan Majapahit dikendalikan oleh Girishawardhana Dyah Suryawikrama. Baru memerintah selama setahun, Girishawardhana mangkat. Sebagai pengganti raja Majapahit adalah Singhawikramawardhana (1466-1474).
Pada tahun 1474, timbullah pemberontakan Bhre Kertabhumi (putra Rajasawardhana) terhadap kekuasaan Singhawikramawardhana. Karena pemberontakan itu, Singhawikramawardhana meninggalkan Majapahit, menuju Dhaha. Tidak lama kemudian, Bhre Kertabhumi menjadi raja di Majapahit.
Ketika menjabat sebagai raja, Bhre Kertabhumi yang dalam Babad Tanah Jawa diidentikkan dengan Prabu Brawijaya. Selengkapnya Babad Tanah Jawa mengisahkan sejak perkawinan Prabu Brawijaya dengan putri Cina hingga runtuhnya Majapahit akibat serangan Raden Patah, sebagai berikut:
Prabu Prabuwija menyunting seorang istri selir dari Cina (putri Kyai Batong/Tan Go Hwat yang menurut Purwaka Caruban Nagari bernama Siu Ban Ci). Perkawinanannya dengan putri Cina itu, Brawijaya memiliki putra bernama Raden Patah.
Namun sewaktu mengandung Raden Patah, Brawijaya menyerahkan putri Cina itu kepada Arya Damar atau Arya Dilah (putra Prabu Brawijaya dengan Ni Endang Sasmitapura) yang menjadi raja di Palembang. Langkah itu diambil oleh Prabu Brawijaya, karena kecemburuan Ratu Dwarawati (putri dari Campa).
Sesudah Raden Patah dewasa, Arya Damar bermaksud menjadikan putra tirinya itu sebagai raja Palembang. Namun, Raden Patah yang ingin tinggal di Jawa itu menolaknya. Sungguhpun Arya Damar kecewa, namun tetap memberi restu kepada Raden Patah yang ingin tinggal di Jawa bersama Raden Kusen. Putra kandungnya yang lahir dari putri Cina itu.
Di tengah hutan belantara, perjalanan Raden Patah dan Raden Kusen dihadang oleh dua orang begal bernama Supala dan Supali. Karena kesaktiannya, mereka dapat mengalahkan kedua begal itu. Perjalanan menuju Tanah Jawa, mereka lanjutkan dengan menaiki perahu. Setiba di Ampeldenta (Surabaya), mereka mengahadap Sunan Ampel.
Sesudah beberapa hari tinggal di Ampeldenta, Raden Kusen berkenan untuk mengabdi kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Oleh Prabu Brawijaya, pengabdian Raden Kusen diterima dengan baik. Kelak Raden Kusen mendapatkan kedudukan yang tinggi dari Brawijaya sebagai Adipati di Terung. Dengan demikian, Raden Kusen dikenal dengan nama Adipati Terung.
Sementara, Raden Patah yang tetap belajar ilmu agama pada Sunan Ampel kemudian dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ni Gede Maloka. Sesudah menikah, Raden Patah disarankan oleh Sunan Ampel untuk berjalan ke arah barat dan mencari tempat yang beraorma harum. Tempat beraroma harum yang kemudian disinggahi oleh Raden Patah itu bernama Hutan Bintara. Lambat-laun, Hutan Bintara yang dibuka oleh Raden Patah itu mengalami kemajuan hingga menjadi pedukuhan.
Mendengar kabar kalau Raden Patah membangun pedukuhan di Bintara, Prabu Brawijaya mengambil suatu tindakan. Memerintahkan kepada Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah yang saudaranya sendiri. Berangkatlah Adipati Terung ke Pedukuhan Bintara. Meminta Raden Patah untuk menghadap Prabu Brawijaya.
Tanpa berpikir jauh, Raden Patah bersedia menghadap Prabu Brawijaya. Sesudah menghadap, Raden Patah tidak mendapatkan hukuman dari Prabu Brawijaya, melainkan memeroleh anugerah sebagai adipati di Bintara.
Pulanglah Raden Patah ke Pedukuhan Bintara. Lambat-laun, Pedukuhan Bintara yang telah resmi menjadi kadipaten itu mengalami suatu perkembangan. Kadipaten Bintara yang semula sepi menjadi ramai. Menjadi tempat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari manca negara. Dari sinilah, titik awal Kadipaten Bintara mulai menunjukkan eksistensinya sebagai bakal kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa.
Tiga tahun sudah, Raden Patah tidak menghadap Prabu Brawijaya untuk menyerahkan upeti. Karenanya, Prabu Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk menanyakan kepada Raden Patah kenapa sudah sekian lama tidak menyerahkan upeti ke Kerajaan Majapahit.
Sebagai hamba yang baik, Adipati Terung berangkat ke Kadipaten Bintara bersama pasukannya. Setiba di Kadipaten Bintara, Adipati Terung mendapatkan jawaban dari Raden Patah bahwa ia akan membelot dari Majapahit. Karena oleh Raden Patah, Brawijaya dianggap sebagai raja kafir.
Apa yang dikatakan Raden Patah memang benar adanya. Kepada Prabu Brawijaya, Raden Patah telah membelot. Bahkan dengan dukungan Arya Teja dari Tuban, Sunan Ampeldenta, Sunan Giri Parapen, Arya Baribin dari Madura, dan Adipati Surabaya; Raden Patah dan pasukan sekutunya mengkudeta kekuasaan Prabu Brawijaya dan membumihanguskan istana Majapahit.
Sungguhpun istana Majapahit telah dibumihanguskan oleh pasukan sekutu Demak, Ampeldenta, Giri, Madura, dan Surabaya; namun Prabu Brawijaya beserta para abdi setianya dapat meloloskan diri dari kepungan musuh. Mereka bercerai-berai meninggalkan Majapahit. Menuju tempat-tempat yang mereka anggap aman.
Sesudah Majapahit mengalami keruntuhannya, status Kadipaten Demak Bintara meningkat menjadi Kesultanan Demak Bintara. Raden Patah menobatkan diri sebagai raja (sultan) bergelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sementara, Ki Gede Wanalapa dinobatkan sebagai Patih Amangkurat.
Berangkat dari kisah Bhre Kertabhumi alias Prabu Brawijaya (versi Babad Tanah Jawa) di muka tidaklah sepenuhnya benar menurut kajian sejarah. Berdasarkan kajian sejarah yang dilakukan para sejarawan bahwa Bhre Kertabhumi memiliki putra Raden Patah yang lahir pada tahun 1455.
Dengan demikian, pernikahan dan perceraian antara Bhre Kertabhumi dengan putri Cina tidak dilakukan sewaktu menjadi raja Majapahit (1474-1478). Dalam hal ini, kisah yang dikemukaan oleh Babad Tanah Jawa di muka tidak sesuai fakta sejarah.
Berpijak pada kajian sejarah bahwa Raden Patah melakukan pemberontakan terhadap Bhre Kertabhumi sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa tidaklah benar. Mengingat Raden Patah yang merupakan siswa Sunan Ampel itu senantiasa menjunjung tinggi ajaran Islam (ajaran Rasulullah).
Dengan demikian, Raden Patah niscaya menghormati kepada orang tua, sungguhpun berbeda keyakinannya. Selain itu, Raden Patah sering disebut sebagai orang Islam yang memiliki toleransi tinggi terhadap para pemeluk agama lain. Sebab itu, perang sudarma-wisuta (perang orang tua dan anak) antara Raden Patah dan Bhre Kertabhumi sebagaimana dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa tidak pernah terjadi.
Teori yang menguatkan bahwa Raden Patah tidak pernah melakukan pemberontakan terhadap Bhre Kertabhumi dikemukakan oleh Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku Javaansche Geschiedenis dan Prof. Moh. Yamin dalam buku Gajah Mada.
Baik Krom maupun Yamin mengatakan bahwa bukan Demak (Raden Patah) yang menyerang terhadap Majapahit semasa pemerintahan Bhre Kertabhumi, melainkan Girindrawardhana. Teori Krom dan Yamin ini berdasarkan Prasasti Petak dan Prasasti Jiyu.
Sesudah berhasil mengkudeta kekuasaan Bhre Kertabhumi, Girindrawardhana memindahkan ibukota Majapahit dari Majakerta ke Dhaha pada tahun 1478. Semasa menjabat raja Majapahit, Girindrawardhana mendapat serangan dari Kesultanan Demak di era pemerintahan Raden Patah.
Dalam penyerangan itu, Kesultanan Demak mendapatkan kejayaan. Sungguhpun demikian, Raden Patah mengampuni Girindrawardahana yang masih adik iparnya sendiri. Sejak Girindrawardhana berhasil ditaklukkan oleh Raden Patah, status Majapahit berubah menjadi kadipaten di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.
Runtuhnya Majapahit dengan ibukota Dhaha di tangan Kesultanan Demak menandakan bahwa Islam di Tanah Jawa mulai menunjukkan eksistensinya. Mengingat Kesultanan Demak yang kemudian menjadi pusat kuasaan di Jawa itu dengan leluasa dapat menyebarkan ajaran agama Islam melalui para dai baik yang tergabung dalam Majelis Dakwah Walisanga maupun tidak.
Penyebaran ajaran agama Islam pun mulai tidak terbatas di lingkup masyarakat Jawa, namun pula merambah ke lingkup masyarakat di luar Jawa. Terlebih ketika Girindrawardhana dari Kadipaten Majapahit yang akan melakukan pemberontakan dengan dukungan Portugis terhadap Kesultanan Demak paska kemangkatan Raden Patah (1518) itu berhasil ditumpas oleh Sultan Trenggono (sultan Demak ke-3) pada tahun 1527.
-Sri Wintala Achmad-
