Manusia harus bisa menyelaraskan apa yang dilakukan dengan yang dikehendaki Tuhan. Penyelarasan tindakan hamba dan kehendak Tuhan inilah yang menjadi sarana bersatunya antara hamba dengan Tuhan.
***
Cerita Kita - LAKON wayang purwa di dalam jagad pakeliran Jawa terbagi menjadi dua bagian, yakni: pertama, lakon pakem yang bersumber dari babad Ramayana, Mahabharata, dan Bharatayuda. Kedua, lakon carangan yang bersumber murni dari cerita gubahan seorang dalang. Berbagai contoh lakon carangan, antara lain: Petruk Dhukun, Werkudara Kembar Papat, Togog Mantu, Antasena Ratu, Wahyu Tejamaya, Semar Bangun Kayangan, dan lain-lain.
Khususnya lakon Semar Bangun Kayangan yang digelar oleh dalang kondang dari Kulonprogo -- Ki Hadi Sugito (almarhum) -- sungguh menarik. Selain ceritanya dikisahkan dengan runtut, tepat, dan tuntas; lakon Semar Bangun Kayangan mengandung makna yang dalam. Memberikan ajaran luhur terhadap para penonton wayang purwa (terutama, kaum muda) yang tengah mencari ilmu kasepuhan. Mengingat di dalam lakon itu diuraikan makna ilmu sangkan paraning dumadi (asal-muasal dan tujuan hidup), jumbuhing kawula-Gusti(Penyelarasan antara tindakan hamba dengan kehendak Tuhan), manunggaling kawula-Gusti (bersatunya antara hamba dengan Tuhan), dan kasampurnaning dumadi (kesempurnaan hidup).
Ilmu Kesempurnaan Hidup
TIDAK seorang pun mengingkari, kalau Semar (Sang Hyang Ismaya) itu merupakan salah satu putra dari Sang Hyang Tunggal atau cucu dari Sang Hyang Wenang yang tinggal di Kahyangan Alang-Alang Kumitir. Semar yang diusir oleh Sang Hyang Tunggal itu turun di muka bumi untuk menunaikan kewajiban yakni menjaga keselamatan Dinasti Bremani (Tritrustha, Parikenan, Manumamasa, Sekutrem, Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu Dewanata, Pandawa [Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa]).
Di dalam lakon Semar Bangun Kayangan, Semar memiliki tujuan akan membangun kahyangan (jiwa)-nya Pandawa dengan syarat pusaka tiga macam, yakni: pertama, Jamus Kalimasada (lambang: pedoman hidup yang menggunakan tatanan); kedua, Payung Tunggulnaga (lambang: iman kepada Tuhan yang menjadi perlindungan hidup); ketiga, Tombak Karawelang (lambang: fokusnya cipta, rasa, dan karsa yang menjadi pusaka hidup ketika akan mencapai cita-cita luhur).
Sesudah pusaka tiga macam itu bersatu di dalam sanggar pemujaan; Semar yang memiliki tanggung jawab sebagai penjaga keselamatan Dinasti Bremani itu kemudian menjadi raga, wadah, atau kerangka Pandawa yang ingin menyerap ajaran tentang asal-muasal dan tujuan kehidupan, penyelarasan antara tindakan hamba dengan kehendak Tuhan, bersatunya antara hamba dan Tuhan, serta kesempurnaan hidup dari Sang Hyang Wenang.
Tidak ubahnya seorang guru kepada siswa-siswanya, Sang Hyang Wenang memberikan ajaran mengenai makna dari ketiga ilmu itu kepada Pandawa. Pertama, manusia harus memahami asal-muasal dan tujuan hidup. Manusia yang dicipta dari anasir tanah, air, api, dan angin (raga) serta nyawa, roh, dan sukma yang kelak kembali pada asal-muasalnya; ketika raga manusia mengalami kematian.
Kedua, manusia harus bisa menyelaraskan tindakan yang dilakukan dengan kehendak Tuhan. Penyelarasan tindakan hamba dan kehendak Tuhan inilah yang menjadi sarana bersatunya antara hamba dengan Tuhan. Bersatu serupa api dengan panasnya, air dengan dinginnya, atau lampu dengan cahayanya. Besatunya dzat dengan sifatnya itu yang menyebabkan urip (hidup) menjadi urup (menyala atau hidup sebenarnya). Hidup sempurna karena mendapatkan cahaya dari Tuhan (nurillah). Hidup yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, tetangga kiri-kanan, dan seluruh makhluk di muka bumi.
Bukan Sekadar di Bulan Puasa
BULAN Puasa, waktu yang sangat baik bagi kaum muslim untuk melaksanakan ibadah puasa. Salah satu ibadah yang tidak hanya mencegah makan dan minum dari waktu imsya' hingga buka, namun harus bisa menjadikannya sarana untuk membangun kahyangan. Membangun jiwa yang diharapkan dapat memperoleh terang dari Tuhan dengan laku mengendalikan nafsu aluamah (nafsu makan yang dilambangkan warna hitam), amarah (nafsu kemarahan yang dilambangkan warna merah), supiyah (nafsu keindahan yang dilambangkan warna kuning), dan mutmainah (nafsu kebajikan yang dilambangkan warna putih). Laku yang bakal membimbing langkah manusia menuju kesempurnaan hidup.
Kalau diperhatikan dengan seksama, ibadah puasanya kaum muslim yang menjadi sarana untuk mengendalikan nafsu empat perkara di muka serupa laku yang ditempuh Semar untuk membangun kahyangannya Pandawa. Serupa sais kereta kencana yang harus bisa mengendalikan jalannya kuda. Penyelarasan (pemanunggalan) antara Semar dengan Pandawa atau sais dengan kuda akan menjadi persyaratan untuk mencapai tempat tujuan, yakni kesempurnaan hidup.
Ketika kaum muslim telah selesai di dalam melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna, maka hidup baru akan bisa dirasakan. Hidup dengan jiwa dan raga yang sehat. Namun terselesaikannya ibadah puasa tidak berarti bebas untuk kembali memulai laku seperti sebelumnya yakni sekadar memanjakan hawa nafsu di setiap tempat dan waktu. Karena membangun kahyangan (jiwa) bukan sekadar dilakukan pada bulan puasa, namun harus dilakukan pada bulan-bulan lainnya.
-Sri Wintala Achmad-
