Cerita Kita - BERBICARA mengenai Jawa senantiasa meliputi tentang iapakah orang Jawa, asal-usul, , kepribadian, kebudayaan, dan filsafatnya. Dikarenakan sangat luas cakupannya, membicarakan tentang Jawa serta pernak-perniknya sangat menarik.
Agar mencapai hasil optimal dan obyektif, bahasan mengenai segala hal yang berkaitan dengan Jawa tidak berdasarkan pada pandangan sempit dan subyektif, melainkan pandangan- yang luas, cerdas, mendalam, dan obyektif. Pandangan tersebut pun tidak berasal dari satu dimensi, melainkan dari berbagai dimensi (multi dimensi).
Dengan menggunakan pandangan multi dimensional, segala hal yang berkaitan dengan Jawa dapat ditangkap substansinya. Oleh sebab itu, referensi dari banyak pihak yang memiliki perhatian dengan Jawa sangat diperlukan di dalam bahasan ini. Sehingga kita dapat menguak tentang wilayah Jawa beserta esensi, asal-usul, kepribadian, kebudayaan, dan filsafat orang Jawa dengan benar dan tepat.
Esensi
SIAPAKAH orang Jawa? Pertanyaan ini terbilang sederhana, namun betapa susah untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Hal ini disebabkan orang yang tinggal di wilayah Jawa belum tentu orang Jawa. Orang yang menerapkan bahasa, budaya, dan filsafat Jawa belum tentu dianggap orang Jawa. Orang dari luar wilayah Jawa yang berkepribadian Jawa belum sepenuhnya dianggap orang Jawa.
Mendefinisikan perihal orang Jawa memang teramat susah. Karena amat susahnya, pendefinisan orang Jawa harus berdasarkan sudut mana kita memandang. Bila mengacu pada tempat kelahiran dan tempat tinggal, orang yang lahir dan tinggal di wilayah Jawa diangggap orang Jawa. Bila berorientasi pada bahasa, budaya, dan filsafat yang digunakan, maka orang berbahasa, berbudaya, dan berfilsafat Jawa dianggap orang Jawa. Bila kepribadian sebagai pendekatan, orang yang berkepribadian Jawa dianggap orang Jawa.
Sungguhpun masih dalam perdebatan, orang Jawa bisa didefinisikan sebagai orang yang lahir dan bertempat tinggal di wilayah Jawa dan senantiasa berbahasa, berbudaya, berfilsafat, dan berkepribadian Jawa. Namun dari definisi tersebut, bahwa seorang yang berkepribadian Jawa dengan diekspresikannya melalui bahasa, budaya, dan filsafat dianggap orang Jawa sesungguhnya. Dengan demikian, orang Jawa yang sekadar lahir dan bertempat tinggal di wilayah Jawa, namun tidak berkepribadian Jawa dianggap bukan orang Jawa sesungguhnya. Dalam istilah lain, wong Jawa sing kelangan Jawa-ne.
Berpijak pada pendapat ini, maka seorang berkelahiran di Jawa atau keturunan orang Jawa namun tinggal di luar wilayah Jawa dianggap Jawa. Asalkan, orang tersebut memiliki kepribadian Jawa yang senantiasa menerapkan bahasa, budaya, dan filsafat Jawa. Tiga warisan adiluhung dari para leluhur Jawa yang telah damai di alam kelanggengan.
Asal-Usul
MENILIK tentang asal-usul orang Jawa dapat bersumber dari pendapat para arkeolog. Menurut para arkeolog, orang Jawa asli telah singgah di Jawa sejak satu juta tahun silam. Pendapat tersebut berdasarkan penemuan fosil pithecanthropus erectus dan homo sapiens yang DNA-nya tidak jauh berbeda dengan DNA orang Jawa di masa kini. Fosil-fosil yang ditemukan di lembah Bengawan Solo menunjukkan bahwa orang Jawa yang dikenal dengan kaum Lemuria atau Legena pernah tinggal di sana. Namun sejak Gunung Kelud meletus pada 7000 SM, sebagian besar mereka punah.
Dalam hal asal-usul orang Jawa, para sejarawan pun memberikan pendapat. Menurut para sejarawan, orang Jawa merupakan suku Lingga yang tinggal di Jawa pada tahun 3000 SM. Duaribu tujuhratus tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 230 SM, orang-orang Cina Chou (Zhou) datang di Jawa. Sebagaimana suku Lingga dan orang-orang Cina Chou; orang-orang dari Yunan (Cina Selatan), India, Thailand (Siam), Turki, Arab, dan Campa berdatangan di Jawa. Orang-orang dari berbagai wilayah luar Jawa yang kemudian berbaur dan berinteraksi itulah merupakan nenek moyang orang Jawa.
Selain para arkeolog dan para sejarawan, beberapa literatur pula menyebutkan tentang asal-usul orang Jawa. Literatur kuna India menyebutkan bahwa orang Jawa (Nusa Kendang) berasal dari India di bawah kepemimpinan Aji Saka. Serat Kuna Keraton Malang menyebutkan bahwa asal-usul orang Jawa dari negeri Rum (Turki) pada tahun 450 SM. Babad Jawa Kuna menyatakan bahwa asal-usul orang Jawa adalah seorang pangeran dari Kerajaan Kling. Sedangkan, Babad Tanah Jawa menyebutkan bahwa asal-usul orang Jawa adalah keturunan Sang Hyang Bathara Brama (raja Gilingwesi). Salah seorang putra Sang Hyang Bathara Guru dan masih trah Nabi Adam.
Kepribadian Orang Jawa
SEBAGAIMANA orang timur, orang Jawa cenderung memerhatikan urusan imaterial (spiritual) ketimbang urusan material (fisikal). Sebab itu, agama dan aliran kepercayaan yang mengajarkan hubungan transendental antara manusia dengan Tuhan dapat tumbuh subur di tanah Jawa. Fakta inilah yang membedakan antara orang Jawa dengan orang barat.
Bila ditilik dari kecenderungannya terhadap dunia imaterial (spiritual), maka kepribadian orang Jawa sangat mencerminkan kecenderungannya tersebut. Karenanya, orang Jawa selalu mengutamakan laku batin yang dapat mendekatkan dirinya sebagai hamba dengan Tuhan.
Untuk mencapai hubungan transendental yang ideal, orang Jawa selalu mengondisikan jiwanya agar tetap tenang, tenteram, dan sentosa. Dengan demikian, orang Jawa akan memiliki kepribadian mengalah untuk mendapatkan kemenangan, ingat dan waspada, orang ngaya, sabar, dan sebagainya. Semua itu dilakukan demi terciptanya hubungan kosmis yang ideal.
Kebudayaan Orang Jawa
RAGAM kebudayaan Jawa sangat banyak. Sungguhpun demikian, setiap produk kebudayaan Jawa niscaya mencerminkan kepribadian dan filsafat orang Jawa. Sehingga kebudayaan Jawa yang sarat dengan simbol-simbol tersebut cenderung mengajarkan tentang kearifan manusia. Lebih jauh, kebudayaan Jawa pula mengajarkan perihal hubungan horisontal yakni antara manusia dengan manusia lain dan alam seisinya, serta hubungan transendental yakni antara manusia dengan Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Beberapa ragam kebudayaan Jawa yang kita dapat ketahui, antara lain: kesusastraan, peribahasa, bahasa, aksara, aliran kepercayaan, upacara adat, kesenian, arsitektur, kuliner, busana adat, dan lain-lain. Namun sebagian dari ragam kebudayaan Jawa itu sudah punah. Dikarenakan sebagian orang Jawa yang merupakan pewarisnya sendiri mulai cenderung terpengaruh dengan budaya modern (barat). Akibatnya, mereka yang menganggap bahwa kebudayaan Jawa merupakan produk usang tersebut tidak lagi mau memertahankan kelestarian budaya Jawa.
Sementara, sebagian orang Jawa lainnya yang masih peduli dengan kebudayaan Jawa tetap melestarikan dan mengembangkan bentuknya tanpa mengubah nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Hal ini dilakukan agar kebudayaan Jawa tetap hidup dan berkembang di bumi kelahirannya.
Filsafat Orang Jawa
FILSAFAT dimaknai sebagai pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Dengan demikian filsafat Jawa dimaknai sebagai pandangan hidup orang Jawa yang menjadi pedoman di dalam mencapai suatu tujuan kehidupannya.
Karena kepribadian orang Jawa lebih mengutamakan persoalan spiritual ketimbang fisikal atau imaterial ketimbang material, maka filsafat atau pandangan hidupnya sangat berkelindan dengan kepribadiannya. Hal ini sangatlah wajar. Mengingat filsafat yang merupakan pandangan hidup orang Jawa tersebut senantiasa merefleksikan kepribadiannya.
Diketahui bahwa filsafat Jawa tidak hanya bersifat tersurat sebagaimana dalam kesusastraan dan peribahasa, melainkan pula bersifat tersirat. Filsafat Jawa yang bersifat tersirat terkandung di dalam ajaran-ajaran ketuhanan dari berbagai aliran kepercayaan, bahasa (komunikasi) dan aksara, upacara adat, kesenian, arsitektur, benda pusaka, busana adat, sesaji, kuliner, dan lain-lain.
-Sri Wintala Achmad-
