"Carilah ilmu sampai ke Negeri Cina. Tetapi belajarlah arti kehidupan dari orang Baduy"
Cerita Kita - Bersama ini kami ingin berbagi pengalaman mengenai apa saja yang sudah kami jumpai, alami, lihat, rasakan dan kagumi dari kehidupan orang Baduy di daerah Banten. Kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi kampung orang Baduy Luar di terminal Ciboleger, kampung Kadu Ketug, dan kampung orang Baduy Dalam di kampung Cibeo pada tanggal 14 dan 15 April 2018.
Persiapan yang telah kami lakukan untuk berkunjung menemui orang Baduy Dalam adalah selain membawa baju, payung, lampu senter, dan lain-lain untuk keperluan menginap 1 malam, kami juga membawa buah tangan sebagai oleh-oleh dari kota untuk pemilik rumah yang akan kami singgahi sebagai tempat bermalam di kampung Baduy Dalam.
Buah tangan kami ini juga bertujuan untuk meringankan beban tuan rumah agar kedatangan dan keberadaan kami di tengah-tengah keluarga sahabat Baduy tidak merepotkan. Nah di tengah perjalanan sebelum kami sampai di pemberhentian akhir kendaraan di terminal Ciboleger, kami sempat mampir di pasar tradisional dan mini market di sekitar kota Rangkas Bitung untuk membeli keperluan makan seperti; beras, ikan asin, telur, mie, minyak goreng, tahu, tempe, gula, kopi dan sayuran.
Kami membeli beberapa keperluan di atas agak berlebih, sehingga ada yang masih tersisa setelah kami kembali pulang untuk keluarga sahabat Baduy Dalam untuk keperluan beberapa hari ke depan.
Kami memerlukan waktu kurang lebih sekitar 5 jam perjalanan dari Jakarta untuk sampai ke terminal Ciboleger, kampung Kadu Ketug. Terminal Ciboleger adalah "pintu masuk" dimana orang luar dapat berinteraksi langsung dengan orang Baduy Luar.
Untuk mencapai Baduy Dalam di kampung Cibeo, kami memilih jalan melalui desa Cijahe yang dapat ditempuh dengan mobil sekitar 2 jam dari terminal Ciboleger. Sangat disayangkan sekali jalan menuju Cijahe rusak parah, sehingga hal ini merupakan "perjuangan" yang berat bagi kami untuk dapat sampai kesana.
Dari Cijahe perjalanan ke kampung Cibeo hanya bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang naik turun bukit kurang lebih sekitar 1 jam.
Kami tiba di desa Cijahe sudah agak siang, dan kebetulan sedang turun hujan. Kami sangat beruntung karena ada beberapa orang Baduy Dalam yang dengan sukarela membantu kami membawakan ransel yang berat, bahan makanan dan minuman untuk bekal dibawa ke kampung Cibeo. Kami terpaksa berjalan kaki dengan hati-hati, karena jalan setapak yang berbatu batu menjadi licin karena hujan.
Sebenarnya ada jalan lain yang bisa ditempuh dari terminal Ciboleger langsung menuju ke kampung Cibeo. Tetapi untuk sampai kesana kita harus berjalan kaki lebih jauh, dan melalui jalan setapak dengan medan yang lebih berat kurang lebih sekitar 5 jam perjalanan.
Memasuki daerah orang Baduy, kita harus tahu bahwa ada batas alam yang akan dilalui sebagai pemisah tempat tinggal orang Baduy Luar dan orang Baduy Dalam, yaitu sungai Ciujung dimana kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan gantung bambu yang membentang.
Jembatan sungai Ciujung tesebut sebagai tanda batas dimana adat istiadat orang Baduy Dalam mulai diberlakukan. Batas ini harus dipatuhi dan dihormati oleh siapapun yang akan berkunjung ke daerah Baduy Dalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Baduy adalah nama segolongan penduduk di Banten Selatan (Jawa Barat) yang masih tetap mempertahankan adat istiadatnya. Mungkin banyak diantara kita yang sudah tahu dan mengenal orang Baduy, karena kita pernah melihat mereka berjualan madu hutan di kota-kota, atau melihat mereka sedang berjalan kaki beriringan di sepanjang pinggir jalan raya.
Mereka memakai pakaian khas Baduy yang terbuat dari kain katun berwarna hitam, menggunakan ikat kepala putih, dan tanpa alas kaki. Benar apa kata Pepatah bahwa "karena tak kenal, maka tak sayang".
Kebetulan sekali kami mendapat kesempatan untuk mengenal orang-orang Baduy dengan lebih dekat lagi. Ada beberapa teman yang sudah pernah berkunjung ke kampung Baduy beberapa kali, sehingga mereka sudah mengenal orang-orang Baduy tersebut dengan baik.
Kesan pertama kami ketika bertemu dengan Emen, seorang Baduy Luar yang merupakan penghubung antara kami dengan orang Baduy Dalam di terminal Cibolegar adalah bahwa mereka cerdas.
Selama ini kita berpendapat bahwa orang Baduy itu dianggap "bodoh" dan "primitif", karena mereka tidak boleh mengenal teknologi modern. Dan meskipun mereka tidak bersekolah, tetapi mereka tetap terus belajar secara otodidak dari kehidupan mereka sehari-hari dan alam lingkungannya, yang menurut istilah mereka "nyakola".
Mereka mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk tetap mempertahankan adat istiadatnya seperti yang sudah diajarkan oleh para leluhurnya secara turun temurun. Dan kenyataannya sekarang orang Baduy Luar sudah mengenal dan mampu mengoperasikan "Hand Phone", sehingga mereka dapat menerima pesanan madu hutan dari orang kota di sekitarnya, bahkan dari Jakarta juga.
Dan orang Baduy Dalam pun apabila ingin menggunakan "HandPhone", mereka bisa meminjamnya dari orang Baduy Luar. Orang Baduy sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat dari luar Baduy. Bahkan ada diantara mereka yang hampir setiap minggu pergi ke Jakarta untuk mengantarkan pesanan madu hutannya.
Ini menunjukkan bahwa dampak dari modernisasi memang sudah masuk ke dalam lingkungan kehidupan mereka sehari-hari. Dan hebatnya lagi, orang Baduy Dalam tetap tidak terpengaruh dan tidak berubah karakternya.
Mereka tetap saja bersahaja dan jujur dalam hidupnya. Mereka sudah memiliki benteng pertahanan yang sangat kokoh di dalam jiwanya untuk dapat menangkal ekses negatif dari dampak kehidupan modern.
Orang Baduy Dalam memiliki kepercayaan dan adat istiadatnya yang sangat kuat, yang sudah diturunkan dari nenek moyangnya sejak dahulu kala. Dan mereka sangat patuh dengan pendiriannya tersebut.
Kesan kedua kami selama berinteraksi selama hampir kurang lebih 24 jam dengan orang Baduy adalah mereka sangat ramah. Keramah tamahan mereka begitu tulus, sehingga kami dapat merasakan perbedaan keramah tamahan mereka dengan keramah tamahan orang kota.
Senyum mereka begitu alami dan cahaya mata mereka begitu bening, sehingga bukan mata kami saja yang dapat melihat aura keramah tamahan mereka, tetapi hati kami pun juga dapat merasakan kesejukan dan sekaligus kehangatan saat berinteraksi dengan mereka.
Hal ini tentu saja berbeda dengan keramah tamamahan orang modern, yang pada umumnya di balik senyumnya ada maksud tertentu yang tersembunyi. Hal ini dapat dilihat dari sinar matanya yang tajam, yang seolah-olah ingin membaca apa isi hati kita.
Kesan ketiga kami adalah orang Baduy mempunyai ikatan kekeluargaan yang sangat erat dan harmonis. Hal ini dapat kami amati dan rasakan sendiri dari bagaimana mereka mampu bercerita panjang lebar secara terbuka mengenai adat istiadatnya dan alasan-alasan mengapa berapa pantangan yang tidak boleh dilanggar.
Dan semua penjelasan-penjelasan mereka tersebut ada dasar ilmiahnya. Jadi bukan hanya sekedar mitos belaka. Dan dari tutur bahasa dan intonasi percakapan mereka selama kami dijamu santap malam dan sarapan pagi keesokan harinya, sangat terasa sekali kalau kami sedang berada di tengah-tengah "keluarga" sendiri.
Makan malam yang hanya diterangi oleh 2 batang lilin 1 buah lampu minyak kelapa yang menempel di dinding bilik rumah, sangat menambah syahdunya suasana malam itu. Supri, nama si pemilk rumah dan istrinya, sungguh cekatan dalam menghidangkan nasi liwet dan aneka lauk pauknya untuk makan malam.
Makan malam kami sangat berkesan, karena kami ditemani oleh 10 orang orang Baduy Dalam keluarga Sapri yang ikut hadir pada saat itu. Meskipun kami dihidangkan makanan yang sederhana dari bekal yang kami bawa sendiri sambil duduk lesehan, tetapi rasa nikmatnya sangat luar biasa.
Bumbu penyedap dari masakan yang mereka hidangkan adalah rasa "persaudaraan" yang akrab, sehingga tidak terasa sama sekali adanya perbedaan diantara kami dengan mereka. Kami dapat bersenda gurau bebas tanpa basa basi, termasuk mengenai hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Gelak tawa kami yang menggetarkan malam yang gelap, yang diiringi oleh hujan lebat dan bunyi petir yang menggelegar, membuat kami lupa bahwa kami juga mempunyai keluarga sendiri di kota.
Kami juga merasa heran betapa rukunnya mereka, karena kami tidak pernah mendengar sama sekali adanya perbedaan pendapat atau pun nada tinggi selama bergaul dengan mereka. Dan pada saat tiba waktunya bagi kami untuk melaksanakan sholat wajib, mereka pun menunjukan toleransinya yang sangat besar dengan menyediakan sebagian ruang bersamanya bagi kami untuk dapat menunaikan ibadah sholat wajib secara berjamaah.
Sangat disayangkan sekali momentum yang sangat langka dan begitu menyentuh ini tidak dapat kami abadikan dalam bentuk rekaman video atau pun foto-foto, karena memang dilarang untuk menggunakan peralatan modern di lingkungan orang Baduy Dalam.
Kesan keempat kami adalah bahwa mereka sangat patuh terhadap adat istiadatnya meskipun peraturan itu tidak tertulis, namun disampaikan secara lisan turun temurun.
Rumah mereka sangat sederhana, tidak berjendela. Hanya ada 1 pintu masuk, 1 kamar tidur pemilik rumah, tungku untuk tempat masak, selebihnya adalah ruang bersama. Kami tidak melihat adanya simbol-simbol adat istiadat atau kepercayaan.
Mereka mempunyai waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan ritual adat istiadatnya, dan juga untuk melakukan suatu kegiatan-kegiatan tertentu, Jadi tidak boleh dilakukan sesuka hatinya, kapan saja dan dimana saja. Semuanya sudah ada aturan dan jadwal waktu yang harus dipatuhi sesuai dengan kepercayaannya.
Adat istiadat orang Baduy Dalam sangat menjujung tinggi kehidupan alam dan lingkungannya. Mereka sadar sekali bahwa selama alam dan lingkungan masih terjaga, mereka akan masih tetap dapat bertahan hidup, meskipun sedikit demi sedikit tergerus oleh dampak dari kehidupan modern.
Kesan kelima kami mengenai orang Baduy adalah mereka "kaya". Seperti yang dikatakan oleh AA Gym bahwa "orang kaya itu adalah orang yang paling sedikit kebutuhannya".
Orang Baduy hanya memiliki 2 buah baju, 2 buah helai kain penutup aurat yang disebut "aros", sebilah golok, dan tidak memiliki alas kaki. Kalau sudah berkeluarga mereka akan mendirikan rumah panggung yang bentuknya seragam dan terbuat dari bahan alami yang sama.
Rumah dibangun tidak boleh menggunakan paku besi. Semuanya harus menggunakan bahan baku yang berasal dari alam, seperti; kayu, bambu, dan rotan yang menjadi komponen penting dalam membuat bangunan menjadi kokoh, atap rumah yang ditutupi oleh daun-daun pohon sagu yang sudah dikeringkan, di anyam dan kemudian disusun secara rapi dan berlapis lapis. Tidak ada perabot apapun di dalam rumah, kecuali tikar sebagai alas tidur.
Dengan demikian tidak ada satupun bahan yang harus dibeli. Semua sudah disediakan oleh alam. Dan kalau ada orang Baduy Dalam yang sakit, obat-obatannya menggunakan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang bisa diambil dari hutan tempat mereka tinggal.
Dengan demikian kita menjadi paham bahwa mereka menguasai juga ilmu pengobatan herbal tradisional yang mumpuni. Jadi orang Baduy adalah orang "kaya".
Mereka tidak perlu membayar listrik, air, uang sekolah, pajak, kendaraan, dll. Alam sudah menyediakan semua kebutuhan untuk mereka. Mereka butuh uang untuk membeli makanan, karena hasil dari bercocok tanam tidak mencukupi untuk dapat dimakan oleh keluarga mereka. Hasil panen mereka sedikit oleh karena keterbatasan lahan pertanian yang mereka miliki.
Hal ini karena lokasi dimana masyarakat Baduy Dalam tinggal di kelilingi oleh hutan lindung. Atas kesadaran mereka sendiri, mereka turut bertanggung jawab dalam menjaga keberadaan serta kelestarian hutan lindung di sekitarnya tersebut.
Guna untuk menambah penghasilan mereka, masyarakat Baduy bisa juga membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kulit kayu sebagai cindera mata dan merupakan produk kreatif yang dapat di jual ke luar Baduy. Dan penghasilan mereka terbesar adalah dari hasil penjualan madu hutan, dan mengantarkan wisatawan berkunjung ke daerah Baduy Dalam.
Kesan keenam kami adalah orang Baduy sehat-sehat. Kami dapat melihat dari wajah mereka yang cerah, ceria, dan kulit yang bersih. Bibir yang sering tersenyum, dan pandangan mata yang bersinar.
Bentuk badan yang kuat dan kokoh, terutama mereka memiliki kaki yang yang tegap dan berotot. Rambut mereka dipotong tidak terlalu pendek, tetapi serasi dengan wajah mereka yang menurut kami "ganteng-ganteng" dalam kesederhanaannya.
Mereka tidak merokok. Mereka menjaga kebersihan tubuh mereka dengan baik, karena mereka mandi 2 kali sehari. Dan satu hal yang belum kami temukan jawabannya adalah bahwa bau badan mereka tidak tercium sama sekali meskipun kami berada dekatnya.
Kami rikuh untuk menanyakannya. Mereka kelihatannya "malas" dan "pendiam", tetapi sebenarnya mereka adalah pekerja yang rajin, giat, dan riang suka bercanda. Mereka mempunyai siklus hidup yang teratur, dimana mereka tidur sekitar jam 20.00 malam, dan bangun sekitar jam 4 pagi, ketika ayam jantan mulai berkokok.
Mereka terus mandi di sungai yang airnya dingin, jernih dan arusnya deras. Mereka langsung pergi bertani ke ladang yang jaraknya dari kampung sekitar 2 - 3 km. Bahkan kadang-kadang mereka tinggal di ladang berhari-hari bersama keluarganya. Kami juga kagum dengan kebersihan di kampung Cibeo. Kebersihan baik di dalam rumah maupun di luar rumah.
Batu-batu besar disusun dengan rapi dan teratur sebagai tempat berpijak di jalan-jalan agar kaki tidak kotor. Dan di setiap rumah ada beberapa tabung bambu yang diisi air yang gunanya untuk mencuci kaki, apabila kita mau masuk ke dalam rumah. Di depan rumah pun disediakan keranjang tempat sampah.
Kita akan merasa kagum melihat bagaimana mereka menjaga kebersihan dan kejernihan air sungai. Masyarakat Baduy Dalam tidak boleh menggunakan sabun, sampo atau odol untuk sikat gigi.
Untuk aktifitas mandi, kita harus menggunakan sungai di bagian hulu. Sedangkan untuk aktifitas buang air besar/kecil kita harus menggunakan sungai di bagian hilir. Aktifitas apapun yang menggunakan bahan kimia tidak diperbolehkan sama sekali oleh masyarakat Baduy Dalam. Suasana di kampung Cibeo terasa sejuk, nyaman, bersih, dan asri. Suasana seperti ini tidak pernah terbayang oleh kami sebelumnya.
Pepatah orang Baduy mengatakan: " Panjang jangan dipotong. Pendek jangan disambung. Kurang jangan ditambah. Lebih jangan dikurangi". Maknanya hidup itu harus jujur, apa adanya.
Pemikiran mereka sangat sederhana dan polos sekali, tetapi artinya sangat mendalam dan filosofis. Alam sudah menyediakan semua kebutuhan orang Baduy untuk dapat bertahan hidup. Oleh karena itu keberlangsungan hidup orang Baduy sangat bergantung kepada sejauh mana mereka dapat merawat dan memelihara lingkungan hidupnya.
Adat istiadat mereka adalah bentuk petunjuk, nasehat atau petuah dari para leluhur mereka untuk bagaimana cara merawat, memelihara, dan menjaga alam lingkungannya agar kehidupan orang Baduy dapat berlangsung terus menerus sampai akhir zaman.
Kita sebagai orang kota yang mengaku modern dan berpendidikan harus paham, menghormati dan menghargai tradisi kehidupan orang Baduy. Jangan sampai kita merusak lingkungan hidup mereka. Karena kalau saja kita merusak lingkungan hidup mereka, ini berarti kita akan "membunuh" mereka.
Mereka sudah merasa "bahagia" dengan apa yang mereka miliki. Meskipun untuk ukuran orang kota mereka dianggap kelompok orang yang "bodoh" dan "primitif", karena mereka tidak mau mengikuti perkembangan zaman. Mereka lebih suka berjalan kaki daripada naik mobil.
Mereka tidak mau menanam singkong, karena tanaman singkong dapat merusak hara tanah. Mereka tidak mau bertani dengan menggunakan pupuk kimia. Mereka tidak memelihara ayam di kandang, tetapi mereka membiarkan ayam hidup bebas di halaman rumah untuk mencari makananannya sendiri.
Kami sebagai sahabat orang Baduy merasa berkeberatan apabila ada orang modern yang berpikir bahwa orang Baduy adalah "bodoh" dan "miskin". Kami melihat dengan kepala sendiri bahwa mereka adalah cerdas dan "kaya". Dan yang paling penting hidup mereka "bahagia". Mungkin mereka lebih "bahagia" daripada orang modern yang memiliki uang berlimpah, rumah besar, dan mobil mewah.
Tetapi satu hal yang paling mendasar yang tidak dimiliki oleh orang modern adalah ketulusan dan kejujuran seperti mereka. Mereka sadar sekali bahwa alam dan manusia itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Mereka mencintai alam sebagaimana mereka juga mencintai sesama manusia. Mereka mencintainya dengan tulus dan jujur, apa adanya. Oleh karena itu orang modern perlu belajar mencintai alam dan mencintai sesama manusia dari orang Baduy. Orang Baduy adalah potret wajah asli orang Indonesia yang sekarang ini jumlahnya tinggal sekitar 1,600 orang saja.
Mereka tinggal tersebar di 3 kampung yaitu : kampung Cikeusik, kampung Cikartawana dan kampung Cibeo. Masing-masing kampung mempunyai tokoh "pelaksana harian" yang mereka sebut sebagai "Jaro" yang sewaktu waktu berkomuniasi dengan aparat pemerintah desa dan ada juga seorang "Puun", tokoh karismatik yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat Baduy Dalam sebagai pemimpin mereka.
Perjalanan kami yang cukup melelahkan terbayar sudah. Kami memperoleh kesan-kesan yang sangat indah, yang tidak akan mungkin dapat kami lupakan. Selain itu, kami juga mendapatkan pembelajaran yang bijak dari orang Baduy untuk selalu bersikap tulus dan jujur dalam hidup.
Tak lupa sebagai rasa terima kasih kami sebagai sahabat mereka, kami membeli oleh-oleh madu hutan yang dijamin keasliannya. Mereka adalah Saudara - saudara kita. Satu Nusa dan satu Bangsa. Meskpun diantara kita ada perbedaan, tetapi kita tetap satu; yaitu "Manusia Indonesia".
Ditulis oleh Doddy, Bambang, dan Eddy.
