-->

Breaking

logo

Minggu, 21 April 2013

Gairah Beragama

Gairah Beragama


Indonesia merupakan Negara yang berhasil melandasi ideology negaranya dengan Negara ketuhanan. Adalah Ketuhanan yang Maha Esa, menjadi sila pertama yang tertulis dalam Dasar Negara Republik Indonesia. Kehadiran Tuhan, sang pencipta alam semesta dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menunjukkan betapa religiusnya bangsa ini. Perdebatan panjang mengenai dasar Negara negara terkait sila pertama Pancasila ditutup dengan kesepakatan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Keberatan suadara-saudara dari Indonesia timur atas tujuh kata dalam Piagam Jakarta melalui AA Maramis disampaikan pada sidang bukan karena semangat ingin berpisah dari negara kesatuan, namun lebih karena kebersamaan dan persaudaraan senasib dan sebangsa bertanah air Indonesia. Atas nama bangunan kebersamaan , persaudaraan dan kemanusiaan dalam bingkai nasional kebangsaan Indonesia, yang tidak mengorbankan akidah dan keyakinan, KH Wahid Hasyim menjadi orang yang pertama menerima dan menyetujui penghilangan tujuh kata dalam piagam Jakarta ini. Sosoknya sebagai ulama islam, kiyai, atas perilaku dan sikapnya sebagai tokoh masyarakat muslim tidak diragukan lagi oleh semua kalangan. Semangat kebersamaan untuk membangun bangsa yang sejahtera, aman, merdeka, tumbuh berkembang menjadi negara besar bersaing dengan negara-negara lain adalah  cita-cita bersama. Maka sikap dan pilihan untuk menghapuskannya pun mendapat legitimasi kuat, dan akhirnya terjadi kemufakatan berdirinya Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Maka, sesungguhnya Indonesia lahir atas dasar kesepakatan atau “darul muakadah” negara kesepakatan. Lahirnya republik ini tidak serta merta dan ‘ujug-ujug’. Serangkaian proses panjang dilalui, terjadi dinamika dan pergolakan dahsyat dari seluruh organ elemen bangsa ini. Bahu membahu dan bersinergi untuk mewujudkan Indonesia merdeka yang adil, makmur dan sentausa. Rasa kesatuan dan kebersamaan ini terus ditunjukkan sampai diproklamirkannya Indonesia merdeka dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Semangat toleransi, kesamaan dan kebersamaan sebagai sesam anak bangsa terjaga demikian baiknya. Tak ada pembedaan atas ras, suku, agama dalam bingkai negara bangsa ini. Sungguh potret yang amat menyenangkan, yang bahkan oleh negara-negara lain seperti Turki, Brazil, Pakistan dan beberapa lainnya, Indonesia menjadi referensi dan model atas keberhasilannya membuat dasar negara yang mampu menaungi perbedaan keyakinan dalam bingkai kenegaraan dengan damai. Sungguh suatu warisan sejarah yang sangat mengagumkan. Pondasi para pendiri bangsa ini meletakkan perdamaian, kasih sayang,  dan kebersamaan menjadi pilar utama membangun negri. Pilihan-pilihan tersebut bukanlah karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang cukup atasnya. Tokoh-tokoh yang ada memiliki kecakapan pengetahuan yang luar biasa, kedalaman ilmu dan pengetahuannya tidak diragukan lagi.

FANATISME SEMPIT BERAGAMA

Setelah lebih 67 tahun merdeka, kini semangat kebersamaan dalam bingkai persaudaraan dan kebangsaan Indonesia tampak mulai digerogoti oleh beragam paham dan aliran sempit beragama. Dalih dan semangat paham-paham tersebut tak lebih adalah upaya menggunakan simbol-simbol agama untuk mengajak dan membawa ummat berpaham sempit atas nama beragama. Dengan jargon-jargon, “memurnikan agama islam”, “islam yang benar”, “kembali ke islam”, dan dengan senjata hanya menggunakan serta mengandalkan terjemahan kasar Al-Quran, kelompok ini mengajak untuk berpaham islam yang sempit. Kini, kehadiran paham-paham ini menggerogoti dan meracuni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kehadiran mereka seolah muncul sebagai alternatif pilihan untuk membangun Indonesia, yang sudah parah dan karenanya harus dibeneri dengan cara, sikap dan model yang mereka kembangkan. Mari kita telaah bersama

Islam Indonesia lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Islam terutama di Jawa berkembang pesat melalui para wali yang tersebar dan terkenal dengan sebutan Wali Songo (wali Sembilan). Mereka mengembangkan dakhwah di nusantara ini dengan cara adaptasi dan mengggunakan budaya lokal sebagai sarana dan media dakwahnya, terutama oleh Sunan Kalijaga. Kepiawaian dan kelihaian dalam berdakwah di nusantara yang notabene mayoritas masyakatnya menganut kepercayaan hindu budda pun berhasil diislamkan. Al-hasil, buah dari perjuangan beliau-beliau itupun kini, kami ini terlahir dan memeluk agama islam dari bapak-ibu nenek kakek kita.

Ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh wali terutama Sunan Kalijaga sangat mengena bagi masyarakat. Karena itu islam di Indonesia berkembang dengan kekhasan, warna dan karakter yang kuat. Islam tumbuh berkembang tanpa harus berbenturan dengan paham lain yang beda. Ia hadir sebagai ajakan yang penuh kasih sayang sebagai jalan menuju Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyebarannya tidak melalui kekerasan dan menang-menangan. Perkembangannya sarat dengan nuansa kebersamaan dan tanpa unsur pemaksaan apalagi intimidasi. Pakaian berdakwah Sunan kalijaga pun memakai symbol adat budaya Jawa yang sama sekali tidak berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Ini sungguh strategi dakwah yang luar biasa zaman itu. Substansi akidah dan ajaran yang dikedepankan, bukan label atau sekdar cover yang diutamakan. Model dan keteladanan warisan leluhur dalam berdakwah saat-saat ini seolah luntur dan bahkan dianggap lari dari kemurnian agama islam. Mereka seolah kurang sadar bahwa sesungguhnya islam yang berkembang pesat dan menjadi mayoritas agama di negeri ini adalah hasil jerih payah dakwah para leluhur kita. Dan ini pun sesuai dengan prinsip agung dakwah dari Kanjeng Nabi Agung Muhammad SAW. Belakangan ini, kita seringkali dipertontonkan perilaku, sikap yang bungkusnya islami namun sesungguhnya jauh dari nilai-nilai ajaran agung Nabi Muhammad SAW.

Pakaian kanjeng Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW, memakai pakaina jubah dan surban karena beliau menghormati dan menghargai pakaian nasionalnya Bangsa Arab. Karenanya Beliau tidak mencoba “nganeh-anehi’ atau “bedakke” dengan masyarakat Arab disana. Nabi Muhammad berjubah dan bersurban sebagaimana bangsa Arab lainnya dan memang tidak ada beda satu dengan yang lain. Pada saat yang sama Abu Jahal, Abu Lahab dan sekian orang yang memusuhi dan menghalangi dakwah Nabi Muhammad pun memakai pakaian yang sama, ya berjubah dan bersurban. Lalu apa yang membedakan orang-orang ini dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW? Adalah akhlaq dan perilakunya yang membedakan, jauh sejauh langit dan bumi. Kanjeng Nabi Muhammad mengajarkan kasih sayang, lembut, damai dan berakhalqul karimah, sementara Abu Jahal, Abu Lahab dan kelompoknya bengis, kejam dan mengedepakan kekerasan dan permusuhan. Sekilas jika melihat ‘cover’ nya seolah sama, sama-sama bersurban, berjubah namun sangat beda sekali kelakuan dan akhlaqnya. Al-kisah dalam tarikh-tarikh sejarah disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW, dikenal dengan sosok yang “bassam” tersenyum, murah senyum. Saat bersilaturahim dengan kanjeng Nabi, baru melihat wajahnya saja, orangpun sudah merasa damai dan tenteram. Seolah sudah lupa bahwa ada beban hutang atau yang lain saat bertemu Nabi. Nabi Muhammad begitu mengayomi dan mengedepankan kasih sayang. Kehadirannya membuat damai dan tenteram di hati, sama sekali tidak menampilkan wajah galak, sangar, dan beringas. Sangat santun dan rendah hati. Lain halnya dengan Abu Jahal maupun Abu Lahab. Lalu, saat kita berjubah dan bersurban, sesungguhnya lebih mirip siapakah kelakuan kita, lebih perilaku agung kanjeng Nabi atau Abu jahal dan Abu Lahab?

Menengok sekelumit risalah pakaian Nabi Muhammad tadi, belakangan yang banyak berkembang justru bukan karena nabi Muhammad menghormati pakaian nasional bangsa Arab yang dikedepankan, namun, mengikuti apa yang dipakai RasuluLlah SAW itu adalah sunnahnya. Maka kalau kita ingin ikut sunnah Nabi, maka sebaiknya berpakaian bersurban dan berjubah sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang terjadi, mereka berpakaian ala Nabi, berjubah dan bersurban putih putih, namun membawa golok dan menghunuskan parang sambil berteriak “Allahu Akbar” untuk memberangus tempat-tempat yang melanggar aturan agama atau kafe-kafe, warung-warung makan yang masih buka saat bulan puasa. Bagaimanapun, mereka mengabaikan substansi beragama, yang memiliki pemahaman sempit dalam mengimplementasi dakwah agama. Pokok sunnahnya adalah perilaku agung Nabi Muhammad SAW, bukan sekedar bungkus pakaiannya. Sunan kalijaga memakai pakaian adat Jawa dalam berdakwah, bukannya tidak mau bersurban dan berjubah, karena kalau menengok pada sunnah nabi, bukan bentuk pakaiannya yang harus secara letter lex diikuti, namun semangat dan latar belakang Nabi memakainya. Kalau kita ingin bersunnah, maka dengan memakai pakaian nasional kita, sesungguhnya kita malah sudah mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.