Sebagai Negara maritim, sudah barang tentu Indonesia memiliki luas laut yang sangat besar, hampir 2/3 wilayahnya adalah lautan. Sebuah karunia nikmat pemberian yang luar biasa dari Tuhan yang Maha Esa. Air laut berlimpah dan memiliki panjang pantai terbesar keempat di dunia yang mencapai 95.181 km. Sumber daya yang gratis, melimpah dan tersebar di wilayah nusantara. Adalah benar-benar ironis, saat kita mendengar bahwa produksi garam nasional hanya menyumbang 34 % dari total kebutuhan garam nasional. Menurut data kemenkoperekonomian 2011, produksi garam nasional mencapai 1.113.118 ton dari total kebutuhan 3.251.691 ton. Artinya 64 % kebutuhan garam nasional kita dipenuhi dengan IMPOR. Sungguh ironis. Selanjutnya mari kita telaah lebih jauh soal data-data dan potensi garam nasional kita.
VALIDASI DATA
Seperti lazimnya paparan-paparan data yang ada di negeri ini, semuanya serba mencurigakan dan menyisakan banyak pertanyaan. Benarkah data yang dirilis pemerintah? Apakah data tersebut bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan kesahihannya? Bilang saja data kebutuhan BBM nasional, data tepung, gula, daging, beras, dan seterusnya. Data yang tersaji untuk dihidangkan pada public, didalamnya “memuat pesan” untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam bahasa pepatah lama “ada udang dibalik batu”. Persoalan data nasional hampir bisa dipastikan mengalami kekacauan dan disajikan hanya untuk sekedar data. Tidak ada upaya rill, sungguh-sungguh, ketulusan hati, membongkar, menyajikan dan memaparkan data dengan sesungguhnya. Semua berlabel kepentingan, dan ujung-ujungnya yang menjadi korban, siapa lagi kalau bukan rakyat kecil. Persoalan BBM misalnya, sedari awal negara ini menakut-nakuti dan sangat menyeramkan, bahwa APBN kita tak sanggup lagi mensubsidi kebutuhan BBM rakyat. Negara akan kolaps dan mengalami defisit besar, dan diperkirakan akan habis tidak sampai akhir tahun. Faktanya program berjalan sebagaimana biasa, dan rakyat juga nggak tahu bagaimana cerita-ceritanya. Jadi sesungguhnya asumsi data, kebutuhan BBM bersubsidi nasional, dan bahkan semua data nasional, dibuat “sengaja” dalam wilayah abu-abu, yang tidak pasti, dimana ada ruang yang cukup untuk bermain-main.
Seperti persoalan garam, menengok kebutuhan nasional yang disajikan, tercatat kebutuhan 3.251.691 ton. Kebutuhan garam tersebut termasuk garam konsumi dan industri. Sekedar gambaran betapa kacaunya data nasional ini, saat kami berkunjung ke Garudafood, pabrik makanan dan minuman, perusahaan tersebut membutuhkan tidak kurang 400.000 ton/tahun atau Garudafood menyumbang 12.35 % kebutuhan garam. Belum lagi perusahaan kacang dua kelinci, industri textile, industri pertambangan minyak, minuman, baja dan besi, kaca, kebutuhan konsumsi keluarga dan seterusnya. Bahkan tim dari Asosiasi Petambak Garam Nusantara (ASPEGNU), melalui koordinator nasional distribusi garam, Bapak Sanusi menyampaikan bahwa Asahi Glass, perusahaan industri kaca meminta order sebanyak 20 juta ton per tahun. Sebuah angka yang fantastis, yang untuk mencapai kebutuhan Asahi Glass saja, sudah 6 (enam) kali lipat kebutuhan nasional. Belum lagi kita menengok kebutuhan industri Krakatau Steel, Pertamina, Chevron, Exxon, dan seterusnya. Lalu pertanyaan besarnya, dari mana dasarnya pemerintah memutuskan neraca kebutuhan garam nasional kita cuma 3.251.691 ton?
Selanjutnya soal data produksi garam nasional baik yang diproduksi rakyat PT. Garam, sebuah BUMN yang memproduksi dan mengolah garam disampaikan bahwa produktivitasnya mencapai 1.113.118 ton. Seringkali saat pemerintah gembar-gembor berteriak kelangkaan garam, fakta lapangan menunjukkan bahwa garam di gudang-gudang masyarakat masih tersisa banyak. Model dan metodologi pendataan produksi garam nasional ini masih sangat kacau dan akhirnya bisa disimpulkan bahwa data-data ini sekedar akal-akalan , dengan semangat yang penting tersaji data.
BUMN GARAM
Peran dan posisi PT. Garam sebagai BUMN yang bergerak di bidang garam nasional juga tidak jelas kelaminnya. Sebagai Perseroan, PT. Garam juga membuat garam dilahan yang mereka miliki. Dengan statusnya sebagai BUMN, PT. Garam bisa mendapatkan dana penyertaan modal dari APBN untuk operasionalnya. Selain membuat garam dilahan, PT. Garam juga memproduksi garam konsumsi dan olahan serta membeli garam rakyat. Sebagai BUMN Garam, bisa kita katakan peran PT. Garam sama sekali belum menunjukkan kepiawaian dan keahliannya dalam mengembangkan industrialisasi garam nasional. Dilapangan, bahkan seringkali diberitakan kurang mesranya hubungan PT. Garam dengan masyarakat, baik soal lahan maupun pembelian garam rakyat. Sesungguhnya peran PT. Garam sangatlah strategis, yang kehadirannya sebagai wakil pemerintah –karena BUMN- menjadi alat bantu negara dalam membangun kebersamaan dengan masyarakat menuju swasembada garam nasional dan bahkan ekspor. PT. Garam seperti kehabisan ide dan inovasi untuk melangkah sebagai perusahaan besar yang menjadi ikon garam nasional dan tumbuh bersama masyarakat petambak garam untuk semakin sejahtera. Hanya soal keseriusan dan ketulusan hati bagi pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dibutuhkan untuk mendigdayakan BUMN ini. Namun sekali lagi, yang terjadi justru BUMN ini dijadikan alat untuk kepentingan para oknum kekuasaan dengan kongkalikong dengan BUMN ini. Ada ruang dan celah permainan yang bisa diolah untuk kepentingan sesaat dari BUMN ini. PT Garam selain memproduksi garam sendiri, juga melakukan proses pembelian garam rakyat. Sangat mungkin, jika hasil produksi yang dibuat oleh PT Garam sendiri dilaporkan dibawah jumlah produksi yang sesungguhnya, dan dikatakan bahwa sebagaian garam itu adalah hasil dari pembelian garam rakyat. Padahal garam tersebut adalah hasil produksi PT Garam sendiri. Modus seperti inicommon sense dan menjadi ruang permainan terbuka. Dan ujung-ujungnya adalah soal bagi-bagi kue yang sangat merugikan Negara. Maka, tantangan sesungguhnya bagi PT. Garam adalah bagaimana BUMN ini menunjukkan kerja maksimal, sungguh-sungguh dan bekerja dengan benar. Ketika BUMN ini terjebak pada perilaku yang tidak sehat dan diperparah sebagai bagian dari mafiasi kepentingan oknum DPR dan pemerintah, maka hanya menjadi mimpi belaka BUMN ini menjadi besar.
IMPOR GARAM
Kondisi dan ujung permainan angka serta data ini, tidak lain adalah untuk kepentingan IMPORTASI GARAM. Sebuah permainan dan kebijakan yang sama sekali tidak pro-rakyat. Semangat importasi adalah semangat melawan petambak garam lokal di nusantara. Mereka -para petambak- yang terpinggirkan dan sudah menjadi korban ketimpangan kebijakan subsidi pangan, karena tiadanya bantuan infrastruktur, teknologi, sarana parasara dan akses modal, kian tambah parah dengan kebijkan IMPOR. Maka semakin lengkap sudah penderitaan para petambak garam. Kebijakan IMPOR GARAM hanya akan menguntungkan segelintir orang dengan keuntungan ekonomi besar. Praktek kebijakan IMPOR ini mengindikasikan adanya KONGKALIKONG antara pengusaha dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Beragam regulasi dibuat untuk melandasi legalisasi keabsahan akan IMPORTASI GARAM. Melalui peraturan kementerian disebutkan bahwa pengusaha yang impor diwajibkan menyerap dan membeli garam rakyat dulu baru boleh melalukan impor dengan perbandingan 1:2 yang dikeluarkan oleh asosiasi petani garam. Artinya jika pengusaha sudah memiliki surat bukti penyerapan 500 ribu ton garam, maka pengusaha boleh mengimpor 1 juta ton. Maka tak heran jika asosiasi asosiasi dibentuk sebagai kepanjangan tangan dari para pemilik modal ini. Asosiasi-asosiasi bodong ini lantas berteriak dan gencar melakukan gerakan kelangkaan garam yang sudah diskenario sedemikian rupa dan menampilkan sikap, wajah, seolah-olah pro rakyat, membela para petambak garam. Alih-laih pemerintah menjaga dan menjamin kepastian pasar, pasar rakyat yang adapun malah ikut terbunuh karena kebijakan ini. Dan disini PT Garam pun ikut menikmati kuota IMPOR Garam.
Semangat kemandirian bangsa, untuk menjadi negara besar yang mampu memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri seacar pelan dan pasti digerogoti sendiri. Ibarat kapal yang sedang berlayar, maka lubang-lubang air sengaja kita ciptakan sendiri karena godaan kepentingan-kepentingan sesaat yang menggiurkan. Karenanya tak heran jika bangsa ini selanjutnya menjadi bangsa yang sekedar penonton dan penikmat saja. Ibarat pepatah anak muda sekarang “Cinta tak harus memiliki, yang penting menikmati”. Slogan ini sangat berbahaya bagi upaya kemandirian dan kemerdekaan bangsa. Tak penting lagi kita memiliki produksi sendiri yang penting kan bisa menikmati. Sungguh memilukan. Saatnya bangsa ini sadar akan potensi dan keunggulan demografi yang kita miliki. Pemerintah melalui Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II harus tegas terhadap tekanan, godaan dan berbagai tipuan muslihat para pemilik modal untuk tidak membuat kebijakan yang membunuh rakyatnya sendiri. Tahun 2013 sebagai tahun politik, jangan sampai malah dijadikan tahun “penggadaian” hak rakyat demi uang sesaat atas nama kepentingan politik 2014. Cukuplah dengan gaji dan beragam fasilitas Negara yang sudah diberikan, para pejabat negara tidak lagi menjual kebijakan importasi untuk kepentingan para pemilik modal.
POTENSI GARAM NUSANTARA
Cara membuat garam tidaklah sulit. Tidak memerlukan teknologi yang aneh-aneh untuk sekedar menghasilkan garam. Pendek kata, air laut kita bawa pulang ke rumah lalu kita jemur pun sudah menjadi garam. Apa yang menjadikan kesulitan bagi bangsa ini untuk memenuhi garamnya sendiri. Air laut berlimpah, tanpa kuota, tidak terbatas. Indonesia dikarunia 2 musim, kemarau dan hujan yang durasi masing-masing musim lumayan panjang. So, sungguh anugrah yang luar biasa yang sudah semestinya sumber daya ini mampu kita kembangkan dan mensejahterakan masyarakat. Bukan malah sebaliknya. Melalui ilmu TITEN dan ILMU WARISAN KUNO, Pak Sanusi, Kornas Distribusi Garam Nasional ASPEGNU, menemukan Teknologi Ulir Filter (TUF) yang mampu menghasilkan garam dengan kualitas bagus, kualitas garam industri, dan produktifitasnya mampu mencapai 135 ton per hektar per 4 bulan musim kemarau. Sungguh penemuan yang fantastis. Semula teknologi TUF ini hanya dikembangkan di Ambulu Losari, Cirebon, namun kini sudah banyak daerah yang memakai teknologi ini. Dan selanjutnya di Ambulu Losari Cirebon, ASPEGNU membuat “SALT LEARNING CENTER” sebagai pusat pelatihan dan belajar teknologi TUF.
Tidak hanya garamnya yang mampu menghasilkan kualitas bagus dan harga prima, namun beragam khasiat garam juga ditemukan di Ambulu Cirebon ini. Mulai dari sarana terapi penyakit, air laut yang memiliki kandungan khusus dan seterusnya. Saatnya pemerintah melek dan membuka kebijakan yang berpihak pada rakyat. Saatnya negara dan pemerintah melirik potensi lokal yang demikian dahsyat untuk dikembangkan dan difasilitasi, bukan malah dibunuh. Menciptakan dan memberikan jaminan pasar, mengayomi dan mebuat regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tidaklah malu kita melihat para TKI/TKW Indonesia disiksa dan menjadi bulan-bulanan di negeri orang, padahal di negeri sendiri sangat besar potensi ekonominya.
