Jangan pernah sombong bila menjadi manusia, karena dalam darahmu, kau mengandung doa.
Kau
adalah doa. Sebuah Mahakarya dari untaian-untaian harapan yang sudah
membendung penuh dari bibir mereka. Kau tidak dapat mengelak, bahwa kau
ada karena cinta. Kau ada karena doa. Dan jangan pernah merengutkan
bibir, karena kita hanyalah wujud dari sebuah doa.
Jangan
pernah menyebut ‘sebatas doa’. Doa lebih ampuh dibandingkan kalimat
puitis. Doa tak perlu puitis. Dan doa tak perlu romantis. Doa hanya
perlu hati yang merangkum segala harap, mimpi dan tangis. Doa pun tak
perlu berakrobatis–sehingga semuanya terlihat wajar, karena kita adalah
doa, kita terlihat sederhana. Tak macam-macam.
Sejak
kau ada di rahim, orang tuamu sudah merancangmu dalam sebuah doa. Orang
tuamu mengharapkanmu menjadi wujud yang benar-benar selamat, dengan
jiwa yang juga selamat. Awalnya, doa memang sangat sederhana. Persis
seperti organ tubuhmu yang sedikit demi sedikit terbentuk dalam rahim
ibumu. Namun semakin engkau bisa mewujudkan doa yang satu, doa yang lain
akan terus bermunculan.
Doa orang tuamu adalah kau lahir dengan selamat. Tanpa kau sadari, kau pun telah mewujudkannya. Tetapi…
tunggu, doa tak pernah mengakhiri jejak.
Doa
bersifat infinit. Sedangkan probabilitas bersifat finit. Namun hidup
selalu memberikan celah, untuk menggapai apa yang tak mungkin tergapai.
Orang tuamu merancang dirimu dalam tabung doa, bukan hanya untuk lahir
dengan selamat. Setelah itu, mereka akan membuatkanmu harapan, agar kau bisa menjadi orang yang berguna di luar sana. Di luar kungkungan yang telah menjeratmu selama sembilan bulan.
Kenyataannya, kau terlalu tergiur dengan definisi ‘manusia’. Kau melupakan wujud asalmu, seuntai ‘doa’.
Kini,
saat kau besar, kau bisa berbangga, bahwa kau sudah menjadi manusia
seutuhnya. Sudah besar, tinggi, hingga bisa menjadi pilar sebuah
kehidupan. Sudah engkau lupakan, apa yang menjadikanmu hingga seperti
sekarang. Doa. Kau melupakannya. Kau melupakan apa yang orang tuamu
harapkan. Kau lupa setitik nila sebelum engkau lebur dengan kumpulan
air.
Kau terlalu sombong menjadi manusia.
Kau terlalu larut dalam seduhan dunia yang syahdu.
Tetapi kau tetap manusia, dan kau hanya sekedar pilar.
Kau tak mau lagi menoleh, melihat wajah-wajah yang mendukung sejarahmu.
Kau terus berjalan, menutup telinga.
Tak mendengar lagi, bisikan lirih kedua orang tuamu:
“Ingatlah
kepada Doa, Nak. Jangan terlalu puas dengan dunia, yang sebenarnya tak
kau mengerti apa definisinya. Tetaplah menjadi doa. Doa kami. Doa yang
bukan hanya sekedar pilar, namun bisa mengoyak langit, hingga matahari
akhirnya gentar memilukan,”
Kau
tak juga sadar. Langkahmu terus menapak. Jejakmu sudah tak terhitung.
Mencari lagi nikmat yang bisa digali selama masih bisa berpijak dalam
eksistensi dunia. Menjadi manusia hanya sekali, itu yang kau camkan. Tak
juga mengerti arti sebuah awal dan akhir. Tak mengerti antara
berpura-pura kuat dan berpura-pura rapuh.
“Kembali, Nak. Jawaban yang engkau cari ada di sini. Langkahmu terlampau jauh, Nak. Jauh…”
Sampai
akhirnya, engkau akhirnya menyadari. Betapa bodohnya engkau menjadi
seorang manusia. Betapa hinanya engkau menghindari sebuah doa. Engkau
mengerang, menangis, berteriak meronta-ronta. Sesalmu kini tiada lagi
sebuah tonggak perubahan.
Napasmu
sudah sirna. Tercekat dalam tenggorokan yang serasa membelit. Ragamu
sudah tergeletak tanpa daya. Hanya dirimu dan jiwamu yang melayang lemas
di langit yang lapang. Jiwamu telah pergi meninggalkan nikmatnya sebuah
dunia. Engkau pun akhirnya sadari, jawabanmu ternyata ada di sana, di
langit, surganya para doa. Doa orang tuamu.
Di
alam sana, engkau kembali menangis. Terngiang dengan kata-kata orang
tuamu, dan apa arti sebuah doa. Apa arti sebuah manusia. Engkau menjerit
hingga mematikan tenggorokanmu sendiri.
Namun, ketauhilah. Engkau akan pudar dalam manusia, namun tetap kekal dalam doa. Selamanya.
Dengarlah, orang tuamu masih saja merancangmu dalam sebuah doa, di tengah kesendirianmu dalam tempatmu yang amat sempit:
“Ya Allah, tempatkanlah Anakku di surgamu yang indah, hapuskanlah segala dosa anak-anakku, ampuni anakku, Ya Allah.”
Engkau terus menangis. Menangisi sebuah doa.
