SEJARAH Jawa selalu diharu-biru oleh jejak gejolak syahwat para raja yang berbuntut sangat panjang melintasi abad. Buntut paling runyam berupa konflik rebutan warisan berupa takhta. Gejolak syahwat para raja itu mewariskan benih konflik bagi anak keturunan yang berpredikat ningrat.
Raja-raja Jawa lazimnya
beristri lebih dari satu. Setiap istri melahirkan keturunan. Konflik
rebutan warisan meledak jika keturunan raja tak bisa berdamai dengan
para saudara tiri. Dengan kata lain, banyak keluarga bangsawan Jawa
dilanda kemelut soal warisan. Status saudara tiri sering disertai
ketidakadilan dalam berbagi warisan. Rembukan macet, lantas segalanya
hendak diselesaikan dengan perang di jalur hukum atau perang dalam arti
sebenarnya. Siapa kuat dia menang. Karena itu, tak jarang keturunan raja
sangat kejam dan tega membunuh saudara.
Dalam konteks global,
gejolak syahwat para raja bukan hal aneh di mata masyarakat
internasional. Sebab, hampir semua raja pada masa lalu di seluruh
pelosok dunia memiliki gejolak syahwat sangat kuat sehingga mereka
mempraktikkan poligami. Bahkan kaisar dan bangsawan di China abad
pertengahan, misalnya, mengoleksi ribuan selir.
Karena itu, raja
dan bangsawan sejak dulu selalu jadi pelopor poligami. Di titik ini,
kekuasaan pun identik dengan menguasai perempuan. Makin kuat raja dan
bangsawan berkuasa, kian mampu menguasai perempuan. Banyak narasi kelam
berlangsung, seperti kisah harem dalam tembok istana.
Poligami
para raja dan bangsawan untuk memperkuat dan memperluas kekuasaan. Makin
banyak selir dari banyak penjuru bisa mencerminkan keluasan kekuasaan.
Tak pelak, banyak narasi historis yang menyebutkan raja-raja di berbagai
penjuru dunia seolah-olah berlomba mencitrakan kekuasaan dengan
memperbanyak selir. Caranya, bisa lewat perang menaklukkan kerajaan lain
atau mencaplok wilayah lain.
Misalnya, raja bersama kalangan
bangsawan segera merampas perempuan di wilayah yang ditaklukkan untuk
mereka jadikan selir. Atau, sebaliknya banyak perempuan di wilayah
jajahan berlomba-lomba bisa terpilih menjadi selir karena posisi selir
identik dengan berbagai kenyamanan dan kemewahan.
Lembu Peteng
Dalam konteks Jawa, narasi historis seperti Babad Tanah Jawa tentang
gejolak syahwat para raja Majapahit (Brawijaya) telah memopulerkan
istilah Lembu Peteng yang berarti keturunan ilegal sang raja pada masa
jaya Kerajaan Majapahit. Narasi tentang Lembu Peteng ternyata banyak
versi karena banyak yang mengaku Lembu Peteng di berbagai daerah.
Narasi historis gejolak syahwat Brawijaya berkait dengan intrik kekuasaan, selalu beraroma kekerasan terhadap perempuan. Konon, banyak
istri dan gadis cantik dipaksa menjadi “selir“ dadakan pada saat
Brawijaya bersama para pengawal berkunjung ke daerah-daerah.
Kegemaran berkunjung ke daerah yang dilakukan Brawijaya bersama para pengawal mungkin mirip fenomena kunjungan kerja ke daerah yang dilakukan para pejabat pusat selama ini yang identik dengan fasilitas akomodasi penginapan plus. Dan, karena pada masa Brawijaya belum ada obat dan alat kontrasepsi, layanan ranjang short-time para perempuan dalam konteks “mendadak jadi selir“ menghasilkan banyak anak berstatus atau berpredikat Lembu Peteng.
Selanjutnya, selama berabad-abad sejarah
Jawa diwarnai konflik sesama Lembu Peteng dalam konteks perebutan
kekuasaan yang identik dengan perebutan harta warisan. Setiap Lembu
Peteng merasa berhak mewarisi kekuasaan Brawijaya atau minimal mewarisi
daerah jajahannya.
Konflik sesama Lembu Peteng tidak hanya
berlangsung secara transparan berupa perang terbuka, tetapi juga secara
laten dalam bentuk sosialisasi trah. Misalnya, di berbagai pelosok desa
ada keluarga yang mengaku keturunan Lembu Peteng. Pengakuan itu tersemat
dalam bentuk gelar kebangsawanan di depan nama mereka.
Nilai
Moralitas Gejolak syahwat para raja dan bangsawan, karena bernuansa
poligamis, cenderung dianggap berbeda dari nilai moralitas yang dianut
masyarakat awam. Akibatnya, makin banyak warga masyarakat Jawa yang tak
respek terhadap kaum bangsawan. Bahkan sementara gadis Jawa yang merasa
sudah nyaman dengan kehidupan modern menolak dipersunting lakilaki
bangsawan karena tak mau dimadu.
Kalangan orang tua awam memiliki ungkapan populer: “Ora usah kedhuwuren panjangka murih ora kuciwa lan nelangsa.”
Ungkapan itu sering menjadi nasihat bagi anak gadis rakyat awam yang
tergila-gila pada putra bangsawan. Maksud tersembunyi dari ungkapan itu
adalah sikap menampik poligami yang kerap dilakukan kalangan bangsawan.
Di
sisi lain, kalangan bangsawan Jawa selalu berusaha mempertahankan nilai
moralitas yang dianggap identik dengan tradisi keraton berkait dengan
perkawinan. Misalnya, mereka tetap mementingkan bibit, bebet, bobot
dalam memilih besan dan menantu. Itu mereka lakukan agar trah atau garis
keturunan kebangsawanan tidak meluntur.
Namun sejak dahulu kala
ada kesan ironis berkait upaya mempertahankan trah di kalangan
bangsawan. Sebab, mereka mewarisi jejak gejolak syahwat para leluhur
yang melunturkan trah kebangsawaan dengan banyak jejak selir atau
praktik poligami. Maka harus diakui, para raja Jawa bukan teladan yang
baik dalam urusan kesetiaan dalam perkawinan.
Jadi, jika
belakangan ini makin banyak bangsawan menolak poligami, itu bisa disebut
sebagai pencerahan atas kekelaman sejarah. Itulah kekelaman sejarah
yang sering dirunyamkan oleh kemelut konflik keluarga dalam perebutan
warisan sebagai buntut jejak gejolak syahwat para leluhur.
