-->

Breaking

logo

Rabu, 24 Januari 2018

Umat Penolak Surga

Umat Penolak Surga


Siang bolong yang terik, seorang pria miskin melintas di sebuah kebun kurma. Dia sangat lapar, namun tak memiliki uang untuk membeli makanan. Ketika sedang berjalan, tubuhnya menubruk pohon kurma yang buahnya menjuntai hingga ke bawah. Tak kuat menahan lapar, ia memetik sebiji kurma lalu memakannya. Sial, pemilik kurma melihatnya. Ia dihardik, lalu diseret ke hadapan Rasulullah Saw. “Saya akan bawa kamu dan adukan kamu kepada Rasulullah Saw. Biar tanganmu dipotong”.

Pria miskin itu tidak bisa berbuat banyak karena merasa bersalah. Tubuhnya menggigil ketakutan. Terbayang dalam pikirannya, pedang algojo mengayun, lalu menebas tangannya. Keringat dingin mengucur, wajahnya pucat pasi. “Ya Rasulullah, potong tangan orang ini. Ia telah mencuri di kebunku!”. Pemilik kebun itu berkata pada Rasulullah Saw seraya menenteng pria miskin di sebelah tangannya. “Apa yang kau curi, wahai saudaraku?” Rasul Saw bertanya dengan penuh kesabaran. ”Maafkan aku, ya Rasulullah. Aku telah mencuri sebutir kurma dari kebun bapak ini. Aku khilaf, ya Rasul. Aku lapar,” . Pemuda itu mengiba.

Rasulullah Saw menghela nafas sejenak. Kali ini pandangannya ditujukan kepada sang pemilik kebun. “Hmm…rupanya hanya sebutir kurma. Mengapa tidak kau infakkan saja kepadanya, sehingga engkau mendapatkan kebaikan dan pahala yang berlipat?” Rasul bertanya kepada pemilik kebun. ”Tidak, ya Rasulullah. Orang ini harus diberi pelajaran. Kalau dibiarkan, nanti menjadi kebiasaan. Aku tidak mau menginfakkan kurma itu. Aku memilih agar orang ini dipotong tangannya saja!” Ia menyergah.

“Infakkan pohon kurma itu, dan engkau akan mendapat surga,” kata Rasulullah Saw. ”Surga ya Rasulullah? Tidak, aku tidak menginginkannya!” Bantah pemikik kebun. Rasul Saw tersentak, tak terbayang olehnya kekikiran yang dimiliki oleh salah seorang umatnya. Para ulama menyebut peristiwa itu menjadi penyebab turunnya (asbabun nuzul) Surat Al-Lail ayat 5-11.

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. Al Lail : 5-11).

Menolak surga

Kisah tersebut merupakan gambaran, betapa di antara kita ada orang yang begitu besar kecintaannya kepada dunia. Saking besarnya cinta itu, hingga ia menolak menukar harta tersebut dengan surga sekalipun. Kecintaan kepada dunia, memang bagian dari fitrah manusia. Allah telah meniupkan dalam diri setiap manusia rasa cinta kepada dunia. Seperti tertera dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 14, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”.

Menjaga harta

Dalam Islam, harta memang diletakkan sebagai salah satu keperluan yang harus dijaga oleh manusia. Akan tetapi, kepentingan terhadap harta berada pada level kelima setelah akidah, nyawa, akal, dan keturunan (maruah). Oleh sebab itu, tak ada satupun ayat dan hadits yang memuji-muji dunia (harta). Sebaliknya, ayat dan hadits tentang harta semuanya mengisyaratkan tentang perlunya berhati-hati dalam memperlakukan harta. Jika salah urus, harta justru akan menjadi bencana bagi pemiliknya.
Akan tetapi itulah dunia, semakin dikumpulkan semakin merasa kurang. Dunia itu seperti air laut, semakin diminum semakin haus. Demikian pula dunia, semakin banyak kita mengumpulkannya, semakin besar keinginan untuk menguasai yang lainnya. Setelah menguasai yang besar-besar, kita masih bernafsu ingin memiliki yang kecil-kecil.

Karena sifat harta yang demikian, Al-Imam Hasan al-Basri dalam “Mawa’izh al-imam hasan al-basri, hal 138” menuturkan, “Saya merasa sangat tidak mengerti terhadap sikap seseorang yang tidak menggangap cinta dunia sebahagai dosa besar. Demi Allah! Sungguh orang yang sangat mencintai dunia adalah termasuk dosa besar. Tidak ada dosa yang bercabang, selain karena cinta dunia.” Sementara Sufyan al-Tsauri berkata, “Akan datang satu masa kepada umat manusia di mana semua hati dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia. Hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Swt.” (lihat: Mawa’izh al-Imam Sufyan al-Tsauri, hal 120).

Bagaimana kita mengukur diri apakah termasuk cinta dunia ataukah tidak? Para ulama telah memberikan ciri-ciri orang yang cinta dunia, antara lain, bermewah-mewah, menumpuk-numpuk harta dan enggan menginfakkannya, mengukur kesuksesan dengan dunia, takut mati, tamak, menyalahkan orang jika gagal, menghalalkan segala cara dalam mencari rezeki, dan sibuk dengan urusan dunia hingga melupakan akhirat. Kecintaan kepada dunia secara berlebihan akan menjadikan hati kita tumpul, tidak peka dan hanya mementingkan kebutuhan diri sendiri. Inilah sumber bencana, sumber musibah dan sumber malapetaka. Ironisnya, inilah yang saat ini tengah menghinggapi bangsa kita. Sebagian dari kita berkubang dalam egoisme, sibuk membangun ketidakpedulian kepada ligkungan.

Rasulullah Saw telah mengetahui akan datangnya masa seperti ini, sehingga ia bersabda: “Perumpamaan orang yang teguh dalam menjalankan hukum-hukum Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya adalah seperti sekolompok orang yang sedang membagi tempat di dalam sebuah kapal. Di antara mereka ada yang mendapatkan tempat di atas, dan ada yang memperoleh tempat di bawah. Mereka yang tinggal di bawah, jika membutuhkan air minum harus naik ke atas. Lalu mereka berkata, ‘Lebih baik kami melobangi tempat di bagian kami ini, supaya tidak mengganggu kawan-kawan kami di atas.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Jika mereka yang di atas membiarkan mereka, pasti binasalah semua orang yang ada di dalam perahu tersebut. Namun apabila mereka mencegahnya, semua akan selamat”.Semoga kita dimasukkan dalam kelompok umat yang senang berbagi, terutama dengan kaum lemah.   (Aminudin, Alumnus IAIN Serang)