Salamah diam sejenak. Ia tatap
dalam-dalam wajah cantiknya di cermin. Tekadnya sudah bulat, memakai
kerudung dan busana muslimah untuk menutup aurat yang selama ini dibuka.
Perlahan diambilnya gunting, helai demi helai rambutnya ia potong hingga tiada lagi menutupi kepala. Inilah tonggak sejarah baru dalam hidupnya, hijrah!
Pagi itu Salamah memilih kerudung pertamanya,
sutera hitam kelam. Dalam balutan tekad dan niat tulus, aura kecantikan
memancar dari raut wajahnya. Diayunkan langkah kaki, perlahan namun
pasti, menelusuri gang sempit, menuju sebuah rumah ditengah kumuhnya
kota. Hatinya mulai basah dengan harapan menemukan kebahagiaan batiniah
yang selama ini dirindukan.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum.. !”
Terdengar suara lembut menyahuti salam dari dalam rumah.
“Waalaikumsalam….?!”
Suara berderit mengikuti daun pintu terbuka. Dari
dalam, keluar perempuan paruh baya berkerudung biru muda dengan pakaian
muslimah yang sangat sederhana.
“Anak mencari siapa ya…??”
“Apakah benar ini rumah Ustadzah Fatimah? “
“Ya, benar, ini rumah Umi Fatimah, tetapi ia bukan seorang Ustadzah”
“Bukan seorang Ustadzah?”
“Ya.. betul.. bukan seorang Ustadzah..”
“Mohon maaf, dengan siapakah saat ini saya berbicara?” Salamah tampak heran dan mulai ragu, jangan-jangan ini salah alamat lagi?
“Engkau sedang berbicara dengan Umi Fatimah, Nak…”
“Hmn… Umi Fatimah? Ustadzah Fatimah?? Apakah benar ini Umi Fatimah Binti Abussamad?”
“Ya, benar! Tetapi Umi masih belum pantas menyandang gelar Ustadzah.. Panggil saja dengan Umi Fatimah…” Terpancar senyuman teduh dan menenangkan hati dari raut wajah perempuan yang bersahabat dan rendah hati ini.
Mendengar pengakuan Umi Fatimah, Salamah seperti
hendak melompat kegirangan. Dalam hati ia bergumam gembira, akhirnya
ketemu juga orang yang sudah berjam-jam dicari.
“Syukurlah!!, jika demikian saya telah menemukan orang yang tepat, Andalah Ustadzah Fatimah yang saya cari-cari!!”
Salamah langsung bersujud memeluk kaki Umi
Fatimah tanpa mampu lagi membendung rasa haru dan penyesalannya,
tangisannya mulai meledak. Menghadapi situasi seperti itu, Umi Fatimah
segera bergegas menarik tubuh Salamah dan memeluknya erat penuh kasih
sayang. Dibimbingnya Salamah masuk rumah, meskipun belum mengenalnya.
“Sabar.. sabar.. Nak… istighfar….. istighfarlah… ‘
Setelah tangisan Salamah mereda, Umi Fatimah mulai bertanya..
“Siapakah gerangan engkau Anakku? Mengapa dirimu diselimuti penyesalan yang sangat dalam? Ada apakah?”
“Huk hik.. Hik.. Hik.., Ustadzah….. ” Tangis Salamah kembali pecah..
“Anakku… mohon jangan panggil Umi dengan sebutan Ustadzah. Panggil saja Umi Fatimah. Siapakah gerangan engkau wahai Anakku?”
“Saya Salamah Umi…, ingin hijrah dari maksiat dan
angkara murka.. Ijinkan Saya memilihmu sebagai pembimbing untuk
menelusuri jalan baru ini…” Tangis Salamah mulai mereda…
“Apakah yang selama ini engkau lakukan sehingga tampak begitu menyesal, Salamah Anakku?”
“Umi…., saya telah meninggalkan ajaran agama.. Jauh dari keimanan dan mengumbar aurat..”
“Anakku, sesungguhnya pintu maaf Allah senantiasa terbuka bagi mereka yang benar-benar melakukan taubatannasuha..”
“Apa yang harus saya lakukan Umi.. apa yang harus saya lakukan untuk menebus dosa ini ???????.” Salamah kembali histeris..
“Bertaubatlah Anakku.. Jalankan perintah agama dan jauhilah larangannya!!”
“Umi.. betapapun sangat berat, tekad ini sudah saya
bulatkan.. mohon bantulah saya Umi, bantulah saya… bimbing saya untuk
melakukannya Umi.. Hari ini saya baru memutuskan untuk berpisah dengan masa lalu yang kelam, ini kerudung pertama yang saya pakai Umi…”
“Apa yang kamu lakukan, menutup auratmu dengan
kerudung dan busana muslimah itu sudah merupakan awal yang tepat Anakku,
teruskanlah! Jangan pernah ragu menemukan pintu maaf dari Allah..”
“Tetapi saya masih belum bisa melupakan rasa
bersalah ini Umi. Saya bersalah!! Sungguh saya amat merasa bersalah
Umi.. hik hik hik..” Entah kenapa, tangis histeris Salamah kembali
pecah…
“Setiap orang pastilah pernah melakukan kesalahan!
Diantara orang-orang bersalah yang beruntung adalah apabila menyadari
kesalahannya dan segera melakukan taubat sebenar-benarnya taubat, taubatannasuha..!!”
“Sulit bagi saya melepas rasa bersalah ini Umi.. suliit… amat sangat sulit sekali Umii.. tolong bantu saya Umi… tolong bantu saya..” Salamah benar-benar memohon..
“Tidak ada gunanya engkau membiarkan hatimu larut dan tenggelam dalam lautan penyesalan
Anakku. Engkau tidak akan pernah memulai langklah hijrahmu yang
sesungguhnya jika hanya berhenti pada pusaran penyesalan”
“Sulit Umi… suliit… saya masih belum mampu melepaskan diri dari pusaran penyesalan itu.. Bantu saya Umi…. bantu saya.. tolong saya Umiiiiii..”
“Insya Allah saya akan membantu.. tetapi kunci
utama keberhasilan tetap ada pada dirimu Anakku. Yakinlah bahwa tekadmu
berhijrah ini akan menuntun engkau keluar dari rasa penyesalan itu..”
“Masih sulit Umi….. sangat sulit sekali rasanya.. Dia tidak bersalah.. Dia tidak bersalah…!!”
“Dia?!! Siapa dia itu ???!!!”
“Saya masih belum bisa melupakan tatapan matanya saat terakhir ia mengembuskan nafas dipangkuan ini”
“Dia siapa? engkau telah mebunuhnya, Salamah Anakku?”
“Saya tidak hanya sudah membunuhnya.. bahkan Saya telah me… uhuk huk huk…. “ Salamah tidak kuasa meneruskan kalimat itu.. tangisannya kembali mendesak dan akhirnya pecah tak terbendung..
“Istighfarlah Anakku.. istighfar.. Ingatlah dengan Allah, karena hanya dengan mengingat Allah hatimu akan menjadi tentram….”
“Umi.. dia Adik saya. Adik saya sendiri Umiiiii…..!!”
“Salamah Anakku?! Apa?? Engkau telah membunuh Adikmu sendiri,…??!!”
Seketika Salamah terdiam. Tangisannya seperti
terhenti! Namun kesedihan, rasa penyesalan dan berbagai kecamuk masih
melanda bathinnya..
“Malam itu, entah mengapa lelaki bajingan itu nekad
menemui saya dirumah! Syahwatnya langsung membuncah melihat saya dengan
pakaian terbuka. Matanya melahap habis belahan dada yang saya biarkan
terbuka. Lelaki bajingan itu langsung kalap menerkam kesana kemari,
seakan ingin menelan tubuhku mentah-mentah!”
“Masya Allah!! Istighfarlah.. Istighfarlah Anakku…”
“Umi.. saya memang suka menggunakan pakaian
terbuka. Saat itu saya merasa punya hak yang penuh atas tubuh saya
sendiri. Saya merasa berhak mengapresiasi kemolekan tubuh saya sendiri!
Tidak seorangpun yang berhak melarang saya! Saya tidak ingin potensi
tubuh yang seksi dan montok ini terpendam hanya karena ditutupi lembaran
kain berlapis-lapis atas nama norma dan aurat..! Tetapi, lelaki
bajingan itu ternyata tetap saja tidak mau mengerti bagaimana seharusnya
menghargai potensi kemolekan tubuh seorang perempuan! Ia ingin
memperkosa saya! Tangan kekarnya seketika menggerayangi
tubuh ini sebelum akhirnya saya menemukan pisau dan mengancam akan
menusuknya! Demi menghargai kebebasan berbusana, dan potensi kemolekan
tubuh ini, saat itu Saya pasti akan membunuhnya jika bajingan itu nekad
memperkosa saya!!”
“Syukurlah!! Syukurlah jika lelaki kalap itu
akhirnya gagal memperoksa engkau Anakku, dan Allah masih melindungi
martabatmu sebagai seorang Muslimah…!”
“Tetapi, saat itu kenapa Allah berlaku tidak adil!!??”
“Astaghfirullah!! Istighfar Anakku!! Jangan pernah berburuk sangka kepada Allah!!”
“Ya.. satu jam setelah kejadian itu, saya menemukan
adik saya terhuyung-huyung, jatuh dipangkuan saya. Ia masih mengenakan
kerudung dan busana muslimah ketika tubuh lunglainya terjerambab di
pangkuan saya. Wajah dan tubuhnya penuh tanda biru lebam, darah
mengalir dari dalam pakaiannya yang robek disana sini! Ia meninggal
dalam pelukan saya sendiri setelah bibirnya terbata-bata mengucap
kalimat.. lelaki teman kakak telah memperkosaku!!”
“Astaghfirullah!!!” Umi Fatimah hanya bisa mengelus dada…
“Salahkah jika saya marah kepada-Nya Umi? Kenapa Adikku yang Dia ambil?! Kenapa?? Kenapa?? Kenapa bukan aku saja yang diambil-Nya?? Adikku itu perempuan sholehah dan senantiasa menjaga serta menutup auratnya!? ”
“Astaghfirullah!! Astaghfirullah!! Astaghfirullah!!”
Umi Fatimah tidak kuasa menahan kecamuk rasa.
Antara sedih, haru dan marah bercampur jadi satu dalam hati! Ditatapnya
dalam-dalam Salamah yang tertunduk diam! Sudah habis isak tangisnya,
sudah kering airmatanya, tak mampu lagi mengisi kesedihan dan
penyesalannya. Umi Fatimah-pun hanya bisa berdoa semoga tekadnya berhijrah
akan menebus kesalahan terhadap Adiknya yang menjadi korban syahwat
lelaki karena rangsangan kemolekan tubuh Salamah dalam balutan baju
seksinya.
Cerpen Karya Dhimas Soesastro
